[24] The Fact

4.1K 224 12
                                    

"When the evening shadows and the star appear
And there is no one there to dry your tears
I could hold you for a million years
To make you feel my love" ­-Make you feel my love, Adele

***

EMBUN melangkah. Di atas catwalk seperti yang biasa ia lakukan. Memperkenalkan berbagai pakaian baru hasil rancangannya maupun beberapa desainer lain.

Embun melangkah. Matanya lurus ke depan menantang blitz kamera yang terus menerus mengedip seiring kedipan matanya.

Regen melihat pemandangan itu dengan bosan. Kalau bukan karena ada kekasihnya di sini, kalau bukan karena ada Embun, Regen lebih memilih berkutat dengan sketch booknya atau membaca buku Scie-fi favoritnya di rumah.

Dia tidak terlalu suka keramaian.

Makannya sejak tadi, fokusnya sudah kemana-mana. Matanya mungkin melihat ke depan, tapi pikirannya sudah terbang jauh. Mebayangkan cerita-cerita fiksi ilmiah dalam bentuk visual, Regen berusaha untuk tetap betah duduk meski sebenarnya sejak tadi ia sangat amat ingin beranjak.

"Excuse me, is this seat taken?"

Regen mengangkat wajahnya dan matanya bersipandang dengan mata biru bening milik orang yang bersuara tadi.

"No, please"

Balasnya, mengalihkan pandangan. Regen baru bermaksud tidak mengacuhkan orang itu dan kembali pada imajinasinya ketika pria itu berbicara lagi.

"There is your mother here? Or... your sister?"

Regen menatap orang itu tak suka. Sebegitu terlihat mudanya kah dia? Siapa pula sih, bule ini? Regen heran kenapa dia harus menjawab.

"No" Tukas Regen akhirnya. Bule kepo.

Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya lalu menatap lurus ke arah catwalk. Awalnya, Regen tidak mau peduli. Awalnya, Regen mengira kalau pria di sampingnya ini bukan seseorang yang wajib dipedulikan.

Tapi pikiran itu langsung lenyap ketika Regen menyadari tatapan orang itu tidak benar-benar lurus ke panggung. Dia menatap seseorang, yang membuat Regen harus waspada kalau-kalau lelaki itu punya niat lain.

Ya, laki-laki itu menatap Embun, dengan pandangan yang berbeda.

***

"Oke, sekian pelajaran kita kali ini, see you next week"

Pak Mulyo-guru OR ku Btw-berlalu setelah mengucapkan kalimat barusan. Masih ada dua puluh menit lagi sebelum bel pergantian pelajaran, makannya setelah ganti kostum, aku dan Aira langsung melesat ke kantin. Wast time banget sih sebenarnya, jika dibandingkan dengan Regen yang memilih menghabiskan sisa waktu untuk mempelajari materi lampau. Tapi nanti aneh. Kalau aku mengikuti kebiasaan Regen, berarti namanya bukan aku dong.

Kan,To be nobody but your self.

"Selda Dy, pilar kanan kedua, dia ngeliatin lo terus deh kayaknya" Aira memepetkan bahunya dengan bahuku dan berbisik sepelan mungkin. Aku menoleh ke arah yang Aira maksud dan mendapati Selda sedang melihat ke arah lain. Sebelum aku sempat menyimpulkan, aku merasakan sesuatu-atau seseorang-menjitak kepalaku keras.

"Begs banget temen gue yaampun... nggak usah diliat balik kecoaa" cerocos Aira, aku balas mencibir.

"Lo jitak nanti gue tambah begs gobs" ucapku, mengusap bekas jitakan Aira.

Aira lalu hanya memutar mata dan beralih menatap ponselnya yang bergetar menunjukkan notifikasi masuk. Dia membukanya, cengar-cengir. Entah apa yang dia buka.

Aku dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang