[15] Hugging

3.8K 244 12
                                    

"I was walking up the front porch steps
After everything that day,
Had gone all wrong or been trampled on
And lost and thrown away"
– Our Song,Taylor Swift

***

SABTU ini, seperti yang direncanakan, semua anggota eskul mading akan berkunjung ke salah satu pantai fenomenal di pulau jawa. Aku sudah jelas tidak akan ikut, mau bagaimanapun Regen memaksaku, dia sama sekali nggak tahu apa-apa. Jadi daripada aku nangis-nangis histeris disana, merengek minta pulang seperti anak kecil yang diajak ibunya pergi arisan, aku memilih tinggal.

Rencananya, hari ini akan aku habiskan dengan bermalas-malasan di kasur sambil mendengar musik yang diputar di tape kecil milik aku dan Dilla. Btw, kita patungan dulu. Jadi aku tidak bisa seenaknya menganggap itu punyaku.

"Lo nggak nge date? Bisanya pagi-pagi udah ribut janjian ini itu" celotehku, melihat Dilla yang masih bergelut di kasurnya juga setelah solat subuh.

Cewek itu melirikku sekilas lalu kembali menenggelamkan wajahnya di bantal,

"Gue Jomblo sekarang"

Aku tersedak ludahku sendiri. Selanjutnya, tawaku malah pecah dan tidak bisa ditahan lagi. Jadi, sekarang, kakakku yang doyan banget gonta-ganti pacar ini, jadi jones alias jomblo ngenes?

"Heeuuh, Dy, gue ditipu lagi. Dia ternyata, udah punya tunangan" kata Dilla, mencicit.

Tawaku sedetik berhenti, lalu kemudian berderai lagi. Puas, akhirnya kakakku ini jomblo juga. Akhirnya, semoga Dilla tobat ya Allah.

"Lo sih nggak kapok-kapok. Udah tau cowok begitu, masih juga cinta setengah modar. Rasain kan, lo pikir ganteng sama baik aja cukup? Meteran lo terlalu cetek ngukur kriteria cowok. Dua orang yang saling cinta aja belum tentu bisa mempertahankan hubungannya, apalagi yang cuma searah. Come on lah Dill, gue nggak mau bilang masih banyak cowok diluar sana. Karena lo tau? Kita, cewek, kaum hawa, Cuma nyuri rusuk satu orang kaum adam. Kenapa? Karena takdir kita cuma satu orang. Dan kita harus percaya kalau orang itu lagi nyari kita juga sekarang."

Aku tidak sadar Dilla sudah bangkit dari posisi tidurnya. Melongo. Menatapku dengan mata membulat sempurna. Aku sendiri tertegun. Apa yang baru saja kukatakan tadi? Oh, yaampun, aku sudah merasa seperti Mario Teguh. Yaampun, aku belum siap botak. Tidaakk,

"It seriously Melody Aristya Aeldra?"

Aku mencibir.

"Bukan, itu tadi titisan Merry Riana" celetukku asal, dan sejurus kemudian, kami mulai perang bantal seperti biasa.

Sebagai pengiring mentari yang perlahan naik.

***

Ting nong,

"Iyaa bentarr!!!" aku berlari dari arah dapur sambil melepas celemek dora yang sudah belepotan minyak. Padahal aku hanya berusaha membantu mama memasak nasi goreng untuk sarapan, tapi jadinya malah hancur lebur nggak jelas gini. Yasudahlah, memang nggak ada bakat.

Aku membuka pintu rumah dan terkejut melihat siapa yang berdiri di balik pintu. Mau tahu siapa? Orang paling bikin kangen sejagatraya, papaku tercintah.

"PAAAHH KOK PULANG GA BILANG BILANG?!" Teriakku histeris, cukup untuk membuat seisi rumah berderap kearah pintu. Papaku ini baru aja pergi dinas ke Aceh. Nggak baru deng, udah dari seminggu setelah aku pindah ke Indonesia. Aku tahu sih, kepulangan papa kali ini ada misi khusus yang tidak lain dan tidak bukan adalah menikahkan anaknya. Oh, itu terlalu ambigu ya, maksudku, menikahkan kak Tania. By the way ini H-sebulan loh.

"Papaaaaa"

Semua orang langsung ribut memeluk papa dan merangsek keluar. Dasar keluarga ribet, emang ribet, ribet deh jelasinnya.

Aku dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang