[17] Sweet Chocolates

3.9K 239 28
                                    

"Saat kamu mendekat sambil tersenyum padaku,
Rasanya seperti semua kebahagiaan di dunia ini adalah milikku,
Matahari sore membangunkanku,
Dan aku tidak tahu mengapa tapi aku tersenyum"
-(terjemahan) Complete, Girls Generation

***

AKU aneh hari ini. Well, itu kata Dilla. Menurutku aku biasa, I'm feeling so so dan memang nggak ada yang special. Tapi dia bilang hari ini aku banyak senyum, sumringah banget kayak baru dapet undian mobil. Padahal kalau aku beneran dapet undian mobil, wuh, bakar rumah kali sangking senangnya.

Anyway, hari ini hari Minggu dan semua anggota keluargaku sedang sibuk-sibuknya dengan pernikahan kak Tania. Ya masalah baju lah, dekor lah, chatering lah, pokoknya ribet deh kalau dijelasin. Termasuk juga aku dan dua kakakku yang baru saja dari toko kue untuk membeli tart pernikahannya. Aku mau yang girly, Dilla maunya yang mewah, kak Litha maunya yang sederhana aja, belum sesuaiin bajet, mau nikah se ribet itu kah?

Gimana kalau aku nikah ya?

Emang mau nikah sama siapa?

Hm...

Aku tersenyum sendiri membayangkan aku dengan balutan gaun putih dan rambut digulung ke atas. Berjalan dengan satu tangan membawa bunga dan satunya lagi tertaut pada lengan seseorang. Seseorang... siapa?

Kakaknya atau adiknya?

Suara siapa itu? Yaampun, itu suara hati kecilku sendiri.

Aku nggak tahu apakah perasaanku pada Bian masih sama seperti dulu atau tidak. Tapi bagaimanapun itu, rasanya aku tetap tidak akan memilih Bian. Aku pernah bilang kan, di tempo Chapter kalau Bian adalah bagian dari masa laluku? Masa yang ingin aku lupakan demi menghapuskan rasa bersalahku atas 'peristiwa' yang mungkin sebenarnya bukan karena aku. Bukan salahku. Lagipula Bian bukan Bian yang dulu lagi dan aku bukan aku yang dulu lagi.

Dan kalau seperti itu saja jadi masalah, aku rasa memang aku sudah tidak menyukai Bian seperti aku dulu menyukainya. Mungkin juga dulu itu cuma cinta monyet, kisah anak SMP yang nggak akan lama hilang.

Terus lo pilih kakaknya gitu?

Aku menggeleng, lalu mengangguk, lalu menggeleng lagi. Masalahnya dia itu bunglon labil yang bisa ganti warna tiap pindah tempat. Kalau lagi ketus nyebelin sih, tapi kalau lagi manis bikin orang kangen.

Regen misterus dan sebagainya tapi tahu cara menenangkanku ketika aku menangis. Dia jutek dan sebagainya tapi ada untukku saat aku butuh seseorang untuk jadi sandaran.

Dia tukang marah dan sebagainya tapi aku suka.

"Tuh kan, lo sakau ya Dy, senyam senyum gajelas gitu"

Sudut bibirku tertarik ke bawah ketika suara Dilla memecah atmosfer yang aku buat sendiri. Dia duduk di tepi ranjangnya seraya bertopang dagu. Kurang kurang ajar apa lagi coba kakak sendiri ngatain adiknya lagi sakau?

"Sakau pala lo. Rese amat dah suka suka gue dong mau ngapain"

Dilla memajukan bibir bawahnya sambil mengangkat bahu.

"Sensi amat, kayak orang lagi jatuh cinta"

Mataku mendelik kaget. Sejurus kemudian, sebuah guling berhasil mendarat tepat di wajah Dilla. Kami perang bantal seperti biasa.

***

Aku jatuh cinta? Sama Regen?

Otakku penuh dan rasanya sebentar lagi mau pecah saking pusingnya mencari jawaban pertanyaan itu. Aku mau bilang iya, tapi logikaku bertanya lagi masa iya? Apa yang bikin aku tertarik sama Regen padahal selama ini aku selalu mengumpat ketika mendengar ocehannya? Dia, sifatnya sedingin dan setajam es.

Aku dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang