"If i walk, would you run?
If i stop, would you come?
If i say you're the one, would you believe me?" --Try, Asher Book***
"Mungkin ini kesannya buru-buru banget. Apalagi kamu belum lama kenal sama aku. Aku maklum kalau kamu nolak atau gimana, but... would you believe me If I say I love you more than I love other person?"
LANGKAH Embun sontak terhenti mendengar serentet kalimat yang keluar dari mulut Regen. Mulutnya terbuka dan tertutup. Bingung, terlalu kaget untuk bereaksi. Belum sempat keterkejutannya menghilang, tiba-tiba cowok di sampingnya itu berlutut dan menyerahkan sebuket bunga krisan yang entah dari mana dia dapatkan.
Cukup untuk mengundang penonton karena taman itu memang sedang ramai.
"Reg, yaampun, nggak usah kayak gini jugaa" Gadis itu meringis. Ia tidak terlalu suka menjadi tontonan di depan umum, yaah walaupun seharusnya dia sudah terbiasa berhubung wajahnya sudah sering tampil di majalah-majalah fashion. Tapi, bagi Embun, semua ini konteksnya beda.
"Kalo aku nggak kayak gini, apa kamu bakal terima?" Tanya Regen, cowok itu sebenarnya tahu cara ini adalah cara-nembak-paling basi. Klasik. Tapi memang mau bagaimana lagi? Satu-satunya ide yang bercokol di kepalanya agar Embun mau menerimanya ya hanya ini. Menyatakannya di depan banyak orang supaya Embun tahu dia benar-benar serius.
Embun, diam seribu bahasa. Baginya, Regen adalah seseorang yang paling baik dan tahu dirinya meskipun mereka baru saling kenal. Dia tahu, dari sorot matanya Regen serius. Dia tidak pernah tidak menyukai Regen sebenarnya dan mungkin, dia bisa menerima Regen apalagi setelah pengorbanan yang ia lakukan untuk Embun tempo waktu kalau saja...
Umur anak ini tidak delapan tahun dibawah umurnya.
Dan seragam abu-abu yang hampir setiap hari digunakannya terasa semakin mempersulit. Dia, seorang wanita matang, dua puluh enam tahun dengan karir yang gilang gemintang, berpasangan dengan seorang anak SMA delapan belas tahun yang baru dikenalnya beberapa bulan ini?
Embun menegak ludah, dia tidak siap menerima konsekuensinya.
Tapi setega itukah dia menolak Regen disituasi seperti ini?
"Be mine, Please?"
Menghela napas, Embun lalu tersenyum dan menerima buket bunga krisan itu. Regen balas tersenyum lega, belum sempat, karena setelah itu Embun berucap sesuatu yang membuat senyumnya tertahan. Setengah berbisik.
"Kasih aku waktu untuk semuanya, okay?"
***
"Mutiara Embun"
Gerakkannya terhenti. Kunci rumah yang baru ia masukkan ke lubangnya kembali ia tarik keluar dengan gerakkan dramatis. Embun berbalik, di depannya, berdiri seorang gadis dengan rambut panjang yang dikuncir kuda. Dia tersenyum, aneh, wajah anak itu beranding terbalik dengan suaranya yang terdengar sinis.
"Siapa ya?" tanya Embun, dibalas seringai oleh anak perempuan itu.
Embun salah, oke, dia sadar akan pepatah don't judge book by its cover.
"Nggak perlu tahu siapa gue. Yang terpenting adalah gue sangat tau lo" nada sinis itu lagi. Embun mengernyit. Dia sama sekali tidak mengerti pada apa yang dikatakan oleh anak perempuan dengan kaca mata gelap bertengger di hidungnya ini. Aneh, mungkin ia sengaja menutupi wajahnya supaya Embun mengenali. Atau jangan-jangan...
"Hati itu, bukan hati lo kan?"
Tubuh Embun sontak menegak mendengar satu kalimat itu. Jantungnya seketika berdegup lebih cepat. Siapa orang ini? dengan sedikit emosi, Embun menghampiri perempuan itu dan berdiri di depannya. Menatap matanya yang tertutup kaca mata tebal lamat-lamat dengan harapan bisa sedikit melihat dan mengenali wajahnya. Tapi nihil. Kaca mata itu terlalu gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Hujan
Teen FictionAku curiga, jangan-jangan aku sudah mati makannya Regen tidak bisa melihatku bahkan sekadar menyadari keberadaanku di sini. Hello... Regen I'm here!! 31/1/16 - Aku Dan Hujan - Copyright 2016 by Shinyrainy