[5] Selda Cs and Bian's Bro

5.1K 291 0
                                    

"EMBUN? Lo kok ngga bilang bilang sih mau ke rumah?"

Aku memutar bola mata dan meloyor ke kamar sementara kak Tania-yang masih setia menjadi petugas antar jemputku-menyambut temannya yang sudah menunggu di ruang tamu. Aku tahu aku tidak sopan, ada tamu kok main ngeloyor aja. Tapi sumpah, badanku ini hanya mau diperintahkan untuk menuju kasur. Capek. Parah.

Dilla, si pengangguran banyak acara yang sedang tidur tiduran di kasurnya sambil cekikikan sendiri-seperti you know lah-sama sekali tidak mengacuhkan kehadiranku. Biarin, malah lebih bagus begitu.

***

Sudah minggu ke... berapa ya, aku sekolah disini? Pokoknya sekarang aku sudah lebih banyak tau orang orang yang menghuni kelasku. Ada Kiki si ketua kelas, Tiwi si sekertaris, Ian si bendahara, Deri si pembuat onar, dan masih banyak lagi yang lain lainya. Aku juga mulai terbiasa sama kebiasaan sekolah ini, makin dekat sama Aira walaupun masih belum bisa menklaim dia sebagai sahabat. Hafal nama;nama guru dan sifat-sifatnya, dan tau tentang Regen.

Yeah, aku cerita semuanya sama Livia dan Liviapun akhirnya cerita semuanya sama aku. Dari mulai 'broken' nya keluarga Bian dan Regen lima tahun yang lalu. Bian yang tetap tinggal di Jakarta bersama papanya sementara Regen ikut mamanya ke Surabaya, dan meninggalnya mama mereka dua setengah tahun lalu yang mengharuskan Regen kembali pada papanya dan tinggal di Jakarta.

Aku baru tahu semua itu sejelas jelasnya sekarang. Dulu, Bian paling anti cerita masalah keluarga dan aku nggak sampai hati bertanya macam-macam. Jadi selama itu, aku hanya tahu orang tua Bian cerai dan titik. Hanya sampai situ.

"Mel, helloooww"

Aku mengerjap, sementara Aira sudah cekikikan melihat tampangku yang, tau lah.

"Lo tuh ngelamun.. mulu. Dipanggil bu Verren noh."

Aku menoleh ke arah meja guru. Bu Verren-guru seni-memberiku kode untuk menghamprinya. Aku menurut. Memangnya mau apa lagi?

"Kamu Melody kan?"

Aku mengangguk. Bu Verren tersenyum penuh semangat seakan akan baru mendapatkan mobil dari tutup botol teh.

"Ibu kemarin liat bio kamu, kamu beneran juara High school voice competition?"

Inilah, memang tidak ada yang pernah mempercayai keebihanku sedikitpun. Semuanya. Bahkan papaku-yang jarang pulang karena tuntutan dinas-masih selalu bertanya setiap melihat piala besar yang bertengger di kamarku. "ini beneran kamu Dy?"

"Iya bu" jawabku pendek. Spj. Jujur. Aku jujur ini beneran.

"Berarti kamu bisa nyanyi dong ya?"

Bisa nyukur! Eerrhhgg, aku botakin juga lama lama nih guru?! Katanya guru, tapi masih nanya HCVC itu kompetisi apa!

Aku mengangguk. Hemat energy!

"Kenapa nggak iku paduan suara? Kalau nggak eskul musik, kamu kan bisa jadi vocalist"

Aku balas tersenyum. Fake. Bukannya aku mau menolak karena sombong atau apa, tapi aku beneran males banget ikut ikutan yang begituan. Cukup sudah segala pr dan latihan latihan persiapan UN. Toh dulu juga aku ikut lomba itu pure iseng-iseng sama teman ku doang kok. Sama sekali nggak ada niatan serius!

"Emm.. gimana ya bu. Saya kan udah kelas duabelas.."

Bu Verren menepuk pundakku sambil tersenyum hangat.

"Tenang aja, kamu nggak akan capek capek kok. Paling Cuma sekali dua kali pentas, atau. Yaah.. paling gak kamu bisa tampil di pentas seni nanti. Gimana?" ucapnya.

Aku menggaruk leher. Berfikir bagaimana cara menolak ajakan bu Verren tanpa membuat wanita ini sakit hati.

"Difikirkan ya?"

Aku dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang