"Mas Yori, ada tuan besar di kantor pak kepala sekolah."
Tuan besar?
"Ayahku?" tanyaku memastikan.
Pak Jarwo mengangguk. "Beliau mau ketemu Mas Yori kalo Mas Yori belum pulang."
Aku beradu pandang dengan Tannia
"Ya udah masuk aja dulu. Aku tunggu di ruang tunggu." Jawab Tannia.
Dia salah satu cewek terpintar di sekolah ini, tapi anehnya aku tidak mencintainya.
Lagi-lagi, aku merasa aku tidak normal.
Tanpa berkata-kata lagi, aku langsung menuju ruang kepala sekolah.
Begitu aku membuka pintunya, ternyata benar ayahku ada di sana dengan Pak Hendri, Kepala Sekolahku.
"Permisi, Pak."
Aku menundukkan tubuhku memberi hormat pada kepala sekolah yang umurnya hampir sama dengan ayahku itu.
"Duduklah."
Ketika aku duduk di sebelah ayahku, entah kenapa perasaanku tidak enak. Sepertinya kami akan bertengkar lagi.
Aku melihat kertas yang ada di depan meja Pak Hendri.
Itu daftar nilaiku.
"Ada apa Bapak memanggil saya?" tanyaku sopan pada Pak Hendri. Belum sempat Pak Hendri menjawab pertanyaanku, ayahku sudah memotong duluan.
"Bukan Pak Hendri yang memanggilmu. Tetapi aku!"
Aku mematung sesaat. Nada bicara ayah sudah tinggi duluan.
Sudah kuduga akan seperti ini.
"Apa ini? Kenapa nilaimu tambah hancur begini?" kata ayah sambil menunjuk-nunjuk kearah kertas itu dengan nada marah.
"Ayah sudah tahu sendiri alasannya." jawabku dingin.
"Jawablah dengan benar, anak muda! Sejak kapan kau jadi tidak sopan begini?" Nada ayah makin meninggi.
"Tunggu, Pak Hans. Kita bicarakan baik-baik dulu." lerai Pak Hendri. "Yori, aku sudah tahu bagaimana pesatnya nilaimu ketika kau kelas satu. Tapi kenapa memasuki kelas dua nilaimu turun drastis? Apa kau mengalami kesulitan? Perlu guru les?"
Aku menatap dingin ayahku, "Tidak perlu repot-repot Pak Hendri. Saya bisa menangani ini sendiri."
"Lalu kenapa nilaimu turun drastis?"
Aku masih menatap dingin ke ayahku. Tapi beliau tidak menatapku.
"Ayah saya lebih tahu mengapa nilai saya turun drastis, Pak."
Pak Hendri terlihat mengalihkan pandangannya ke ayahku.
Kali ini ayahku menatapku dengan tajam. Kami beradu pandang sangat serius untuk beberapa saat seolah kami adalah rival.
Yah, kami memang rival akhir-akhir ini.
"SEBENARNYA APA MASALAHMU ANAK MUDA? KENAPA KAU SANGAT KERAS KEPALA??" Suara ayahku benar-benar tinggi hingga mungkin saja terdengar hingga keluar.
Dan tentu saja aku tidak mau kalah darinya. Karena seharusnya yang emosi adalah aku, bukan dia.
"Kita sudah pernah membahas ini ayah! Jika ayah masih keras kepala dengan keputusan ayah, maka aku juga akan melakukan hal yang sama!"
Aku segera meninggalkan tempat dudukku dan pergi keluar.
"MAU KEMANA KAU, YORI? KEMBALI KESINI KAU, YORI HATMADJA!"
Aku tidak mendengarkan lagi perkataan ayahku. Aku segera keluar ruangan itu tanpa pikir panjang lagi.
Di luar, Tannia terlihat tegang.
Aku yakin semua orang di luar sini telah mendengar pertengkaranku dengan ayah. Ruang kepala sekolah memang kedap suara, tetapi tidak cukup untuk meredam suara kami berdua.
"Yori..." ucap Tannia lemah.
"Ayo cepat kita pergi dari sini!" ucapku pada Tannia.
Tannia mengikutiku yang berjalan sangat cepat di belakang. Kami berdua cepat-cepat menuju parkiran dan segera naik mobil Tannia.
Gara-gara aku pula Tannia terlihat terburu-buru dan bingung.
Di dalam mobil aku tidak banyak bicara dengan Tannia.
Dia terlihat melihatiku sesekali seperti meminta penjelasan tapi aku terlalu emosi untuk bicara. Pikiranku masih ruwet. Hal-hal yang coba aku lupakan jadi muncul lagi perlahan-lahan.
"Turun di perempatan depan, Tannia." ucapku mendadak.
"A-apa? Kenapa kau turun di sini? Rumahmu kan masih jauh?" ucap Tannia masih melajukan mobilnya.
"Sudahlah, turunkan saja aku di sana!"
Tanpa sadar aku mengatakan kalimat itu dengan nada tinggi.
Tanpa berkata-kata lagi Tannia menghentikan mobilnya. Dia terlihat cukup terkejut dengan nada bicaraku yang meninggi.
"Sori, Tan. Kau jadi tahu masalahku dan terkena imbas emosiku. Aku pergi dulu." ucapku sambil keluar dari mobil itu.
Tanpa menoleh ke belakang sedikitpun, aku langsung saja menyeberang dan berlari entah kemana.
Aku butuh menyegarkan pikiranku.
__________________
Hai hai,
Aku tau part sebelumnya dikit banget karena lagi sibuk jd bisanya cuma itu. Tapi, berhubung banyak yg nunggu kelanjutannya karena nanggung, aku langsunv ketik ketik lagi, trus langsung post and publish sekarang. Nggak jadi besok.Demi apa coba? Demi kalian.
(Sok swit banget dah)Btw, Yori minta di puk puk tuh. Mau tau konflik Yori sama ayahnya yg sebenernya?
Keep reading. Kalo perlu add to library, add to your reading list. Oke?
Jangan lupa vote and comment ya. Apapun yg ada dipikiran kalian ttg cerita ini berharga buat ku.
Kecup mesra buat kalian *muah muah
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreamcatchers
Teen FictionMereka bilang jangan bermimpi terlalu tinggi, itu sulit dicapai. Tapi bukankah mimpi selalu di atas awan? Mereka bilang jangan membantah orang tuamu, itu tidak baik. Tapi bagaimana jika kita punya rencana sendiri dengan hidup kita? Mereka bilang lak...