21. Pulang

634 35 65
                                    

"TUMOR??"

Yori membelalak. Sia juga.

"Sudah 3 tahun yang lalu sebenarnya, ada benjolan di punggung ayahmu. Awalnya kecil. Sekecil bola golf. Tapi kini sudah membesar dan bahkan merembet ke bahu menuju dada kanannya."

Yori yang kini duduk di sebelah ibunya terlihat memegangi kepalanya. Ia benar-benar tidak tahu apapun tentang hal itu. Mendadak pikirannya rumit antara kesal yang selama ini ia simpan pada ayahnya dan rasa penyesalan karena tidak tahu tentang penyakit ayahnya sendiri.

"Sejak kau meninggalkan rumah, dia sering pusing. Mengerjakan laporan, pusing. Memeriksa laporan, pusing. Padahal tensi darahnya normal. Begitu juga kadar kolesterolnya juga masih normal.

"Ibu teringat benjolan di punggung ayahmu 3 tahun yang lalu. Ibu pertama kali melihatnya ketika ibu mengoles minyak angin di punggung ayahmu. Ibu menyuruh ayahmu membuka bajunya, dan betapa terkejutnya ibu mendapati benjolan itu kini sudah sampai ke bahu. Tanpa pikir panjang lagi, ibu langsung menelpon ayah Bella."

"Kau tahu Yori, tumor ayahmu adalah tumor jinak yang berubah menjadi ganas. Jika tidak segera dioperasi, itu akan membahayakan nyawanya." Potong Bella.

Ibu Yori mulai terisak.

"Ibu ingin memberitahumu. Ibu ingin kau pulang. Setidaknya kau harus melihat ayahmu. Setidaknya kau harus berbicara dengannya. Entah umur ayahmu panjang atau tidak, ibu ingin kalian berbaikan. Ibu tidak ingin ada penyesalan diantara kalian. Meski dia terlihat keras kepala, tapi dia sebenarnya sayang padamu Yori. Sungguh!"

Isakan Bibi Julie terdengar semakin jelas dan keras.

"Ketika pusingnya sudah tidak tertahankan lagi, ketika ia hanya bisa berbaring dan tidur, dia bersusah payah menelpon Pak Hendri untuk mengatur kesepakatan denganmu. Dia bahkan sudah menurukan egonya, iya kan?"

Bibi Julie menatap mata Yori. Matanya sudah basah karena air mata.

"Dia hanya ingin perusahaan yang ia bangun tetap berjalan. Itu saja. Ia juga tidak bermaksud memaksamu. Tapi ia juga tidak rela jika usaha yang selama ini ia bangun hancur begitu saja. Jika usahanya hancur, bagaimana ia akan membiayaimu kuliah hukum?"

Yori terkejut.

'Apa ayah sempat berpikir untuk mengkuliahkanku sesuai keinginanku? Apa ia benar-benar memperhatikan apa yang kuinginkan? Ibu tidak berbohong kan?' Batin Yori.

"Percayalah pada ibu, Yori. Dia menyayangimu. Dia keras kepala di luar, tapi jika kau mendengarkan suara hatinya, dia hanyalah lelaki yang menginginkan keluarganya bahagia."

Tangis Bibi Julie semakin keras. Yori hanya bisa memeluk ibunya dengan pikiran yang masih rumit.

"Kumohon. Pulanglah, Yori. Pulanglah."

*****

"Semoga ayahmu cepat sembuh, Yori." ucap Sia. Kini hanya mereka berdua duduk di ruang tunggu. Bella dan Tannia sedang mengurus obat-obatan Ayah Yori, sedangkan ibunya berada di dalam ruang ICU menemani ayahnya.

"Iya, makasih."

Sinar kekuningan siang hari telah berubah menjadi sinar jingga yang tidak begitu terik. Yori terduduk lemas menatap lantai di ruang tunggu ICU. Pikirannya masih rumit. Ombak kehidupan serasa menggulung dirinya, memutar balikkan perasaannya dan menghempaskannya kembali ke awal perjalanannya.

'Ini akan jadi sulit kedepannya.' Batin Yori.

Sia yang duduk di samping Yori juga rumit. Ia menatap ke arah lelaki yang duduk di sampingnya itu, mencoba menghiburnya, mengajaknya ngobrol, tapi ia yakin itu tidak akan bisa menghilangkan beban pikiran lelaki itu.

DreamcatchersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang