22. Aku Akan Pindah

383 27 15
                                    

Holaaa, I'm back.
Yori is back. And also Sia.

*****

Hari senin, ujian pertama telah dilalui dengan sukses. Begitu juga hari-hari berikutnya hingga tanpa terasa besok adalah hari ujian terakhir.

Selama exam week, Sia dan Yori belajar bersama di gudang kecil Yori. Mulai pulang sekolah hingga jam 4 lalu dilanjutkan lagi mulai jam 7 malam hingga jam 9 malam di rumah Sia. Yah, kini orang tua Sia sudah tahu sosok guru privat Sia yang ganteng itu. Bahkan terkadang, mereka menggoda anaknya itu ketika mereka sedang makan bersama. Sama seperti yang tengah mereka lakukan saat ini.

"Bukankah besok hari terakhir ujian semestermu, Sia?" tanya Ibu Sia sambil memotong daging ayam di hadapannya lalu diberikan ke ayahnya.

"Iya." Sia menjawab datar sambil memasukkan sesendok nasi ke mulutnya. "Memangnya kenapa? Kenapa nada bicara ibu begitu?"

"Tak apa. Hanya saja, aku pasti merindukan Nak Yori. Bukankah dia tampan dan manis?" ucap Ibu Sia datar. Kali ini Sia hampir tersedak mendengar ucapan ibunya.

'Apa aku tidak salah dengar? Apa selama ini ibu memperhatikan Yori?' Batin Sia.

"Pelan-pelan dong kalo makan. Makanya jangan bawa-bawa perasaan kalo lagi makan, akhirnya tersedak kan?" ujar ibunya lagi masih dengan nada datar. Sia buru-buru mengusap mulutnya dan menatap ibunya yang terlihat menyindirnya.

'Apa-apaan kata ibu barusan itu?' Batin Sia.

Tak lama kemudian, bel rumah berbunyi.

"Itu pasti Kak Yori." Dedi, adik lelaki Sia berlari menuju pintu dan membukakan pintunya. Sia melirik kearah pintu. Ternyata itu benar Yori.

"Aku akan ambil buku dulu." Sia mengusap mulutnya dan membawa piringnya yang hampir kosong ke tempat cucian piring. "Ibu, tolong bawakan camilannya ke ruang tamu ya? Hehe"

Sia memasang cengiran tak berdosanya sambil berlari ke kamar untuk mengambil bukunya. Ibunya hanya menggelengkan kepala sambil mengantarkan cemilan yang sejak tadi sudah disiapkan ke ruang tamu. Tak lama kemudian dia sudah ada di ruang tamu dan membereskan meja tamunya untuk dijadikan meja belajarnya.

"Ayo kita mulai belajar untuk hari terakhir ujian."

Malam semakin larut, udara pun mulai terasa dingin. Sia terlihat masih mengerjakan latihan soalnya, sedangkan Yori sedang memperhatikan Sia mengerjakan soalnya sambil sesekali memberitahu Sia jika langkah pengerjaannya salah.

"Sia," panggil Yori.

"Apa? Apa ada yang salah lagi? Aku pikir ini sudah betul." Sia memeriksa lagi pekerjaannya.

"Tidak, bukan begitu. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu." Sia mengalihkan pandangannya. Matanya bertemu dengan mata tajam Yori.

"Mulai sekarang, kau harus banyak membaca jika kau masih ingin menjadi arsitek. Tingkatkan jam belajarmu. Pelajari materinya di rumah sebelum materi itu dibahas di kelas. Jika kau kesulitan memahami materinya, coba cari di internet dengan bahasa yang lebih mudah untuk kau pahami. Dan perhatikan juga contoh soalnya..."

"Iya, iya. Aku tahu. Kenapa kau mendadak bawel?" ucap Sia sambil kembali mengalihkan pandangannya pada buku pelajarannya. Sia pikir Yori hanya akan mulai mengomelinya agar lebih rajin. Tapi dia sudah tahu bahwa jika cita-citamu ingin terwujud maka kau harus rajin. Bahkan orangtuanya juga sudah mengingatkannya berkali-kali. Jadi tidak perlu ada repetisi untuk itu. Ia merasa sudah tahu dan malah muak jika terus-terusan diingatkan.

"Aku serius, Sia." Nada bicara Yori mulai terdengar serius. "Aku ingin kau lebih bersungguh-sungguh dalam belajar. Karena mulai sekarang kau harus bisa belajar sendiri."

Seketika Sia mematung dengan pensil masih dalam genggamannya. Ia mulai merasakan perubahan situasi. Situasi yang awalnya santai-santai tegang menjadi tegang-tegang santai.

Sia menengadahkan mukanya ke arah Yori, memasang tatapan tidak mengerti. "Kau harus bisa mempelajari materi-materi science itu sendiri. Karena aku tidak bisa membantumu lagi."

Yori mulai aneh, menurut Sia. Ia tidak mengerti kenapa Yori mendadak jadi seserius itu. Terlebih lagi kalimat 'aku tidak bisa membantumu lagi.' Sulit bagi Sia mencernanya.

"Kenapa kau tidak bisa membatuku lagi? A-apa aku berbuah salah padamu? Apa aku sangat merepotkanmu? Apa aku membuatmu sebal? Apa aku murid yang menyebalkan?"

'Kau sama sekali tidak menyebalkan, Sia.'

Yori mengangkat telapak tangannya menghentikan ocehan Sia. "Tidak. Bukan karena itu. Ini karena aku akan pindah."

Sia yang tadinya menatap Yori lekat dengan tatapan serius menjadi sedikit lega mendengar alasan Yori.

"Oh, karena kau akan pindah ke rumahmu yang sebenarnya? Pasti sangat jauh dari sini ya hingga kau tidak bisa belajar bersama lagi. Jika itu alasanmu, aku tidak..."

"Bukan, bukan itu, Sia. Ini bukan soal pindah rumah."

Dahi Sia kembali bertaut

"Jika bukan tentang pindah rumah, lalu ini tentang pindah apa lagi?" Sia memikirkan berbagai asumsi di otaknya. Satu-satunya rencana Yori yang ia ketahui dalam waktu dekat ini adalah pindah rumah. Yori akan kembali ke rumah ibunya. Hanya itu saja. Jika bukan itu, lalu pindah apalagi?

"Kau bukan akan pindah sekolah kan Yori?"

Yori lama sekali terdiam. Itu membuat Sia mulai mencium bau-bau hal yang tidak menyenangkan yang disembunyikan Yori. Sia semakin melekatkan pandangannya pada Yori. Situasi di ruang tamu itu menegang. Yori tidak terlihat akan menjawab pertanyaan Sia dengan cepat. Ia terlihat berpikir. Suasana menjadi hening sekali. Sesekali terdengar suara detik jam dinding yang meramaikan keheningan ruangan itu.

"Aku akan pindah jurusan, Sia. Aku akan pindah ke departemen sosial dan hukum."

Deg!

Sia mematung. Mendadak pikirannya rumit. Begitu juga dengan perasaannya. Ia tidak tahu harus berekpresi seperti apa. Satu sisi dia senang bahwa Yori telah menemukan jalan menuju impiannya. Tapi di sisi lain, ia sedikit kecewa karena setelah ini mereka pasti akan jarang bertemu. Atau bahkan sangat jarang bertemu.

"Di hari pertama aku masuk setelah bolos 3 hari waktu itu, aku dipanggil Pak Hendry dan beliau menawarkan kesepakatan padaku. Bla.. bla.. bla..." Yori mulai menceritakan kesepakatannya dengan kepala sekolah beberapa waktu yang lalu. Ia ceritakan dengan detil apa yang dikatakan Pak Hendry sekaligus perasaannya. Sia hanya sesekali mengangguk dan sesekali tersenyum menanggapi cerita Yori. Meski demikian, otaknya belum bisa mencerna semua kata-kata Yori. Yah, otaknya sedang mencerna hal lain.

"Sia?" Yori menghentikan ceritanya ketika melihat Sia tidak fokus pada ceritanya. Tatapan matanya kosong ke arah lain dan bahkan sekarang Sia tidak mendengar seruannya.

"Sia!" ucap Yori lebih keras. Seketika Sia gelagapan, mencoba mengalihkan pikirannya yang rumit.

"Y-ya?"

"Kau mendengarkan ceritaku tidak?"

Sia mematung dengan mata membelalak.

"Ya, tentu saja." Ia memasang senyum tak berdosanya. "Tapi sedikit."

Sia memang tidak bisa berbohong lama. Segera saja ekspresi mereka berubah total. Suasana semakin hening setelahnya.

"Jadi, mulai kapan kau akan pindah jurusan?" tanya Sia dengan hati-hati. Ia tatap penuh wajah Yori di depannya.

"Hari pertama semester dua."

___________

Hai hai, lama ya gak ketemu. Duh maaf banget dari kemarin PHP mulu. Padahal diPHPin kan sakit. Huhu~

Ada banyak alasan sebenarnya yg bikin aku jadi tukang PHP. Tapi sekarang itu gak penting. Yang penting Yori dan Sia udah balik. Yeay~

Tetep baca ya,
Tetep komen ya,
Tetep vote ya,
Apalah author tanpa pembaca.
Miss u and love u. Muaahh~

23092016

DreamcatchersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang