"Apa yang kau lakukan di sini?" Terlihat raut wajah tidak percaya Yori. "Tunggu. Aku tidak tahu jika kalian berteman?"
Tania yang masih berada di sekitar mereka langsung menyahut santai, "Dia bukan temanku. Kita memang tidak berteman."
Yori mengangkat satu alis. "Lalu?"
Tania tidak menjawab. Ia sudah menjauh menuju ruang makan, menaruh pizza yang dibawakan Yori. Yori beralih memandang Sia dan meminta penjelasan.
"Ng...kita sepertinya memang bukan teman. Tapi hari ini Tania berbaik hati padaku dan mau menampungku di rumahnya malam ini."
Beberapa detik setelah Sia mengatakan penjelasannya, Yori masih belum menunjukkan reaksi apapun. Bahkan masih terlihat linglung.
"Maksudmu Tania mengijinkan kau menginap di sini malam ini? Kenapa? Ada apa?"
"Dia melarikan diri." Entah sejak kapan Tania kembali dari ruang makan, tapi ia sudah duduk manis di sofa dan menonton tivi dan menjawab pertanyaan Yori.
"Melarikan diri?" Yori menatap curiga pada Sia. "Jadi sekarang kau mau sok-sokan melarikan dari rumah sepertiku? Bukankah kau sendiri yang bilang itu tidak baik?"
Sia menunduk. Yori benar. Dulu ia pernah mengomel pada Yori soal ini, tapi sekarang ia juga melakukannya. Dalam hati Sia, ia malu sekali.
Melihat perubahan ekspresi Sia, Yori menghela napas pelan. Ia merasa sedikit bersalah sekarang. Tidak seharusnya ia langsung mendakwa Sia sama seperti dirinya tanpa tahu cerita apapun di belakangnya.
"Hei, hei, tidak usah sok memelas di depan pacarku. Kau mau cari perhatian? Cepat duduk sini dan buang muka memelasmu itu. Aku tidak suka!" ketus Tania sambil tetap melahap pizza. Buru-buru Sia meninggalkan Yori dan duduk di sofa bersama Tania. Yah meskipun dengan muka yang sedikit ditekuk.
Sedangkan Yori hanya memperhatikan dua cewek itu yang ia rasa mulai tidak biasa. Tidak biasa karena Sia terlihat sudah akrab dengan Tania. Begitu juga dengan Tania. Tidak biasa pula Tania bersikap seperti itu pada orang lain. Bahkan Tania mengajak Sia menginap di rumahnya. Ini benar-benar momen langka. Apa yang terjadi sebenarnya?
"Seseorang harus menjelaskan sesuatu di sini." Yori berjalan dan duduk di sofa yang berbeda dengan Tania dan Sia. "Kenapa Sia ada di sini? Kenapa kau mau mengajaknya menginap? Dan kenapa dia melarikan diri?"
Tania melirik sekilas ke arah Yori. Ia akan melahap pizzanya lagi, tapi ia urungkan.
"Dia tadi menangis di depan butikku yang ada di perempatan sekolah. Dia mungkin sakit karena dia terlihat berbicara dengan orang gila yang ada di sebelahnya. Karena itu, daripada dia berkeliaran di luar tidak jelas, lebih baik dia ku ajak ke sini. Soal alasan dia nangis atau melarikan diri, entahlah. Tanya sendiri padanya." Jelas Tania kemudian melahap pizzanya.
Bola mata Yori berputar ke arah Sia. Untuk beberapa detik, Sia hanya terpaku, tak mampu berkata. Lebih tepatnya tak mampu bercerita lagi. Beberapa detik setelahnya, Sia hanya diam dan menunduk. Jari-jari kakinya bergulat. Sesekali menghembuskan napas keras. Pikirannya kembali rumit.
Yori dan Tania hanya bisa mengamati kegelisahan Sia itu. Mereka sesekali bersitatap memberi kode setelah mengamati Sia yang mendadak sangat muram. Ini benar-benar berbeda dari Sia yang mereka kenal selama ini. Sebelumnya Sia tidak pernah terlihat semuram ini. Hidupnya terlihat ringan, seringan senyumnya. Hidupnya terlihat menyenangkan, semenyenangkan ketika dia mengomel dan terlihat bodoh. Meski sering dibodoh-bodohkan oleh teman-teman terdekatnya, dia tak pernah benar-benar marah, atau sakit hati. Lalu, kini Tania dan Yori dibuat penasaran, apa yang membuat cewek itu semuram ini.
"Apa ini soal nilai rapormu?" ucap Yori tiba-tiba. "Bagaimana nilainya? Kau belum memberitahuku."
Sia menatap Yori dalam. Suara teve seharusnya terdengar keras. Tapi bagi Sia, tidak ada yang lebih keras dari suara otaknya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreamcatchers
Teen FictionMereka bilang jangan bermimpi terlalu tinggi, itu sulit dicapai. Tapi bukankah mimpi selalu di atas awan? Mereka bilang jangan membantah orang tuamu, itu tidak baik. Tapi bagaimana jika kita punya rencana sendiri dengan hidup kita? Mereka bilang lak...