16. Ini Bukan Akhir

667 61 11
                                    

"Bagaimana? Kau paham? Apa lagi yang belum kau pahami?" tanya Yori. Wajahnya terlihat lelah. Sudah hampir tiga jam waktu membolos mereka dihabiskan hanya untuk membahas pelajaran. Sia benar-benar memanfaatkan waktunya untuk belajar dengan Yori.

"Kalo materi yang ini, sepertinya cukup. Lanjut ke materi selanjutnya." ucap Sia masih bersemangat. Namun tidak dengan Yori.

"Nggak, nggak, nggak. Stop! Aku hari ini mau bolos. Bukan bahas masalah pelajaran." Yori menatap Sia seolah dia telah kehabisan tenaga sekaligus mati bosan dengan apa yang selama ini mereka lakukan.

"Yah, tapi kan aku harus belajar banyak. Kalau aku tidak segera memahami materi semester ini, bagaimana dengan ujianku seminggu lagi? Karena itu, kita lanjut ya?" Sia mencoba memasang tampang melasnya. Matanya yang membulat menatap Yori penuh.

"Itu bukan urusanku."

"Yahh, Yori. Ayolah. Kumohon..!" ucap Sia merajuk.

"Aku tidak mengerti. Kenapa kau sangat berusaha keras untuk semua ini? Apa ayah ibumu menuntutmu untuk menjadi pintar? Apa kau akan dipukuli jika nilaimu tidak bagus?" cetus Yori. Baginya, baru pertama kali ini ia menemui siswa semacam Sia. Bodoh, tapi bekerja keras.

"Tidak." Jawab Sia. "Bukan karena orang tuaku yang menuntutku. Bahkan orang tuaku tidak terlalu peduli pada nilaiku. Aku melakukan semua ini karena ... aku punya cita-cita untuk hidupku kelak."

Yori membeku seketika mendengar alasan Sia barusan. Ekspresi mukanya berubah. Ia cukup kaget dengan jawaban Sia seperti itu. Itu ... di luar dugaannya.

"Aku bercita-cita menjadi arsitek sejak kecil. Karena itulah aku berusaha keras seperti ini" lanjut Sia.

Yori masih belum bisa berkata-kata. Ini tidak seperti yang ia bayangkan. Jawaban Sia seolah terlalu dalam untuknya. Terlalu dalam hingga ia hanyut pada kenangan tentang mimpi dan cita-citanya yang penuh lika-liku. Dan dia yakin, Sia pasti juga punya lika-likunya sendiri. Terlebih lagi, dia tidak terlalu pintar.

"Kenapa kau sangat menginginkannya? Maksudku... ini pasti tidak mudah bagimu kan? Setiap orang bahkan bisa merubah impiannya jika itu dirasa terlalu sulit untuknya. Kenapa kau memilih memperjuangkannya?" Yori semakin melekatkan pandangannya pada Sia. Ia penasaran dengan motivasi Sia yang membuat Sia memutuskan untuk tetap berjalan pada jalan mimpinya.

"Tidak. Aku tidak mau merubahnya." Sia menggeleng mantap. "Karena itu satu-satunya hal yang kuinginkan. Satu-satunya hal yang membuatku berjuang hingga saat ini. Karena aku ingin membuat keluargaku bahagia. Karena aku tahu betapa susahnya punya rumah yang selalu bocor di musim hujan dan hampir tidak layak karena dindingnya sudah mengelupas. Dan aku ingin keluargaku bebas dari keadaan seperti itu. Aku ingin mereka hidup bahaga di tempat yang lebih aman dan nyaman. Itu saja."

Yori masih terdiam memandangi Sia. Ia masih tidak menyangka Sia mempunyai passion sebesar itu.

'Dia terlihat bodoh di luar. Aku yakin otaknya hanya sebesar Jeruk Sunkist. Tapi aku tidak menyangka dia mempunyai passion sebesar ini. Dia punya nyali yang lebih besar daripada aku, ku pikir. Dia bahkan tidak terlihat terbebani sedikitpun. Meskipun aku tahu, ini pasti sulit baginya untuk sampai ke sini.' Batin Yori.

"Kenapa kau memandangiku seperti itu? Kau menganggap remeh cita-cita ku ya?" ucap Sia yang menyadari bahwa Yori menetapnya terlalu intens. Yori langsung melepas pandangannya dari Sia begitu menyadarinya.

"Ti-tidak. Bukan seperti itu." jawab Yori. "Hanya saja....aku tidak menyangka udang sepertimu punya cita-cita sebesar itu."

Yori tersenyum menggoda Sia.

"Iishh... kau mau mati ya?" ucap Sia agak kesal. Yori justru semakin melebarkan senyumnya. Entah kenapa, setelah Sia mengungkapkan alasan kerja kerasnya selama ini, pandangan Yori tentang Sia sedikit berubah. Yang tadinya hanya gadis bodoh yang mau sok pintar menjadi gadis bodoh berpassion.

DreamcatchersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang