Hati anak mana yang tidak hancur ketika orang tua mereka tidak bisa memahami keinginan dan kesedihan mereka. Begitulah yang Sia rasakan sekarang ini. Langit terasa runtuh, kilat petir dan gemuruh halilintar terdengar dari dalam hatinya. Air matanya tumpah ruah, mewakili isi hatinya yang hanya terbendung di benak. Ia keluar rumah dengan arah yang tidak jelas, entah kemana dia akan pergi.
Tak peduli orang sekitar memandangnya seperi apa, menganggapnya seperti apa, dan berkata apa, Sia terus saja berjalan dengan mata masih penuh air. Sesekali menetes deras, sesekali mereda. Sesekali terisak sedih, sesekali menggigit bibir keras. Ini pahit. Lebih pahit dari pare yang pernah Sia makan di penjual siomay dekat sungai. Lebih pahit dari jamu berwarna hitam yang pernah ibu belikan untuknya.
Salahkan jika bermimpi tinggi? Salahkah cewek bodoh punya keinginan besar? Tidak ada yang mudah di dunia ini, bukan? Hanya karena Sia pernah gagal — bukan, itu bukan kegagalan. Nilainya tidak di bawah kkm. Lalu, apa hanya karena nilai pas semua orang menjadi tidak percaya? Hanya karena satu kegagalan, mengapa harus menyerah?
Sia lemas. Memikirkan semua ini sendirian membuatnya merasa terpuruk. Ototnya melemah, pikirannya serasa akan meledak karena penuh. Belum berhenti menangis, karena lemas, Sia memutuskan duduk jongkok di depan toko, entah toko apa.
Pikiran penuh membuat kepekaan seseorang berkurang. Tidak peduli telah diperhatikan setiap orang yang lewat di trotoar, Sia tetap menangis sambil memeluk lutut. Sudah mirip seperti anak hilang.
"Sia?"
Di tengah isakan dan keramaian trotoar pinggir perempatan, Sia masih bisa mendengar seseorang memanggil namanya. Ia menoleh, mencari sumber suara. Ke kiri, hanya terlihat kaki-kaki yang melangkah kesana kemari. Tidak ada seseorang yang terlihat memanggilnya. Ke kanan, Sia melihat orang gila duduk sama persis seperti dirinya tak jauh di sebelahnya dan menoleh ke arah Sia. Aneh, mereka justru bertatapan intens, seperti mencoba berkomunikasi lewat mata.
"Kau memanggilku?" tanya Sia yang entah sadar atau tidak telah berbicara dengan orang gila. Dengan muka sangat kucel, beringus, tapi bahagia, orang gila tadi hanya berunjuk gigi menjawab pertanyaan bodoh Sia.
Bodohnya lagi, Sia seolah menganggap senyuman orang gila itu bukanlah berasal dari orang gila.
"Sia!" Suara panggilan itu semakin keras, tapi bukan orang gila yang mengucapkannya. Suara itu dari arah lain. "Sedang apa kau di situ?"
Mata Sia menangkap sosok yang sangat ia kenal dari balik pintu toko di belakangnya. Hanya saja otaknya terlalu lambat untuk mengidentifikasi. Butuh waktu sekian detik hingga akhirnya Sia membelalak, tidak percaya.
*****
"Apa yang kau lakukan di depan tadi? Duduk barengan sama orang gila lagi." tanya Tania sambil menyodorkan segelas air putih pada Sia. "Lalu kenapa juga kau kucel dan ingusan? Sama lagi kayak orang gila itu."
Sia masih meneguk minumannya ketika Tania mencercanya dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
"Makasih, Tan." Ucap Sia sambil mengusap mulutnya yang basah. "Jadi ini toko bajumu, Tan. Gila, keren."
"Ini butik, bukan toko baju, Sia. O my God."
"Sebelas dua belas kan?"
"Hei, jawab pertanyaanku dulu. Kenapa kau nangis di depan butikku? Kau diusir dari rumah?"
Sia menggeleng.
"Kau kecopetan?"
Sia menggeleng lagi.
"Tersesat?"
"Masa iya aku tersesat di sekitar rumahku sendiri?"
Tania menghela napas. "Ya terus?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreamcatchers
Teen FictionMereka bilang jangan bermimpi terlalu tinggi, itu sulit dicapai. Tapi bukankah mimpi selalu di atas awan? Mereka bilang jangan membantah orang tuamu, itu tidak baik. Tapi bagaimana jika kita punya rencana sendiri dengan hidup kita? Mereka bilang lak...