32. I Can't Tell

80 6 10
                                    

“Kemana saja kau selama ini? Kau tinggal dimana? Apa yang terjadi? Kenapa kau tidak menghubungi kami?”

Sia segera disidang di lorong sepi dekat lab kimia. Ia di dudukkan di bangku depan lab sementara teman-temannya membentuk setengah lingkaran mengelilinginya. Tatapan mereka lekat sekali pada Sia. Memerhatikan setiap inchi, memastikan tidak ada yang berubah dari Sia.

“Aku harus jawab yang mana dulu?” tanya Sia bingung.

“Oke, jawab pertanyaanku dulu.” Yori mengawali. “Kenapa kau tidak pulang setelah ku usir?”

Spontan Hana dan Jess menoleh kearah Yori. Shock.

Hana dan Jess memang tahu Sia kabur dari rumahnya, tapi mereka tidak tahu jika sebelumnya Sia pernah menginap di rumah Tania, bersama Tania dan Yori.

“Aku pulang,” singkat Sia.

“Lalu?”

“Tapi tidak masuk rumah. Aku hanya menatap dari jauh.” Nada Sia menurun.

“Kenapa?” Yori semakin penasaran.

Pikiran Sia dipaksa kembali memutar memori itu. Ketika ia melihat sendiri bagaimana tetangga-tetangganya memperlakukan ibunya. Anak mana yang tidak kesal. Mereka boleh mengolok Sia apapun. Sia tidak akan tumbang, sakit hati atau apapun. Tapi jika mereka berlaku buruk pada keluarganya, ia tidak bisa terima.

“Aku belum siap.”

Dalam hati Yori, ia masih belum bisa menerima alasan Sia tidak pulang ke rumah. Ia merasa ada yang ditutupi oleh Sia. Tapi ia tidak mendapat petunjuk apapun tentang itu.

“Oke, lalu kemana kau selama ini? Kau tinggal dimana?” Tanya Tania. Raut wajahnya mengatakan jika ia khawatir sekali pada Sia.

“Ada seseorang yang menolongku. Dan sementara waktu aku tinggal bersamanya.” Jawab Sia.

“Kenapa kau tidak menelponku, Sia?” Kali ini Jess yang angkat bicara. “Setidaknya aku tahu dan aku bisa membantumu.”

Sia tersenyum lemah. “Maaf, aku tidak berpikir sejauh itu. Lagipula baterai ponselku sudah mati duluan sebelum aku bisa menelpon seseorang.”

Mereka terdiam sesaat. Membiarkan suara lembut angin menenangkan pikiran masing-masing. Membiarkan hembusan angin mendinginkan suasana.

“Kenapa kau tidak kembali saja ke rumah Tania?” interupsi Yori di tengah ketenangan. Segera saja ucapan Yori mendapat anggukan dari Tania.

“Bagaimana mungkin aku kembali ke rumah Tania. Kau sudah mengusirku. Lagipula, jika aku kembali ke sana, nanti mengganggu kalian berduaan.” Sia mengatakannya dengan bibir sedikit manyun. Tania menepuk dahinya, sementara Yori hanya bisa geleng-geleng kepala. Sia kekanakan sekali.

“Kau tau, kita hampir gila karena mencarimu, udang!” Tania tidak bisa lagi menyembunyikan segala omelannya. “Kami gila karena kami gak bisa menemukan petunjuk apapun tentang kau. Kau ada dimana, dengan siapa, apa benar-benar baik-baik saja? Sepuluh hari itu bukan waktu yang singkat Sia.”

Tania tidak bisa menutupi kekesalannya. Ia mencoba meredam emosinya, tapi tidak bisa.

“Terlebih lagi, apa kau tidak sayang pada orang tuamu? Kau pergi, menghilang, lalu mengiriminya surat... apa kau tidak memikirkan perasaan mereka?”

Suara Tania makin meninggi. Sementara Sia hanya menunduk. Ia tak berani mengeluarkan sepatah katapun. Ia rasa, ia pantas mendapatkan semua omelan itu.

“Mereka lebih gila karena mencarimu, udang! Mereka bisa gila beneran!” Emosi Tania memuncak. Napasnya berderu. “Aku benar-benar kecewa.”

Segera saja kaki Tania berderap meninggalkan Sia, Yori, Hana dan Jess. Ia kesal, benar-benar kesal. Tuhan tahu, ia sangat mengkhawatirkan Sia. Ia merasa bersalah telah berlaku buruk pada Sia selama Sia menginap di rumahnya. Terlebih lagi melihat air mata seorang ibu menetes di depan matanya, rasa bersalah itu semakin besar. Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi.

DreamcatchersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang