Pose. Shot. Flash!
Tania terlihat sangat luwes di depan kamera. Dalam semenit saja, Tania bisa berpose puluhan dan langsung dipotret sedemikian cepat. Benar-benar seperti seorang profesional."Istirahat 10 menit!" teriak kepala pemotretan. Seorang wanita muda menyodorkan sebotol air mineral pada Tania. Terlihat raut lelah Tania.
"Tania, dalam 15 menit pemotretanmu akan selesai. Setelah itu, kita langsung ke kantor Upline untuk memutuskan baju apa yang akan kau pakai di season selanjutnya. Lalu pukul 11.12 kita ada wawancara dengan majalah YoTeen. Istirahat 20 menit sekaligus perjalanan ke kantor manajemen baru untuk tanda tangan kontrak."
"Kira-kira pukul berapa aku harus tanda tangan kontrak?" tanya Tania di sela-sela minumnya.
"Sekitar pukul 13.00."
"Apa tidak bisa diundur?"
"Tidak ada waktu lagi, Tania. Kepala manajemen hanya punya waktu di jam tersebut. Mengapa kau ingin mengundur waktunya? Bukankah ini kesempatan yang kau tunggu?"
Tania terdiam. Tak lama kemudian, terdengar ponselnya berdering."Halo?"
"Jangan lupa tanda tangan kontrakmu, Sayang. Kau akan semakin dipuncak setelah ini."
Itu mamanya.
"Iya, Ma. Kak Wira sudah mengatur jadwalnya."
"Bagus. Mama bangga padamu. Jangan lupa memakan bekalmu juga Sayang. Jangan sekali-sekali kau makan pizza lagi. Ingat kau harus menjaga tubuhmu tetap ideal."
"Baiklah, Ma. Kemarin aku hanya sedang ingin makan pizza bersama Yori."
"Jangan diulangi lagi, Tania. Tidakkah cukup persediaan buahmu di kulkas? Perlu ditambah lagi?"
"Tidak. Itu sudah lebih dari cukup."
"Baiklah. Jaga dirimu, Sayang. Nanti mama akan telepon lagi setelah kau tanda tangani kontrak."
Telepon tertutup. Untuk sesaat Tania terdiam dalam lamunan. Hati kecilnya bertanya, pernahkah mamanya menanyakan tentang hal yang paling Tania inginkan? Apakah anak semata wayangnya itu bahagia dengan pilihan hidupnya? Pernahkah?
***
Sudah lebih dari lima menit Sia hanya garuk-garuk, menggigiti pensil sambil menatap serius ke buku di depannya. Satya memberinya latihan soal untuk melatihnya agar semakin peka pada jenis soal dan penyelesaiannya. Selain itu, agar Sia tidak mengganggunya mengerjakan rancangan maketnya. Tapi sepertinya itu tidak berhasil. Karena faktanya, Satya tetap tidak fokus karena melihat gelagat Sia.
"Bocah," Satya melempari Sia dengan gumpalan kertas. "Apa kau sudah selesai? Sudah sampai nomor berapa?"
Sia melihat sekilas ke bukunya. "Baru nomor satu."
Satya menepuk dahinya. Sia terkekeh. Mau tidak mau Satya harus meninggalkan tugasnya dan beralih mengajari Sia. Setelah Sia mulai mengerti pada beberapa jenis soal, Satya melonggarkan konsentrasinya.
"Bocah, apa kau tidak berniat pulang ke rumahmu?"
Setelah menyelesaikan hitungannya dan menuliskannya di buku kerjanya, Sia menjawab, "Kenapa kakak tanya?"
"Kau tidak kasian pada ayah ibumu? Mereka pasti khawatir. Terlebih, jika mereka tahu kau tinggal bersama seorang pria tampan sepertiku, bisa-bisa mereka mati berdiri. Dan reputasiku sebagai seorang pria baik-baik akan rusak."
Bercandaan Satya memang sangat garing kriuk kriuk. Sia hanya melihat sesaat pada Satya sebelum akhirnya kembali fokus pada pekerjaannya.
"Aku sudah mengirimi mereka surat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreamcatchers
Teen FictionMereka bilang jangan bermimpi terlalu tinggi, itu sulit dicapai. Tapi bukankah mimpi selalu di atas awan? Mereka bilang jangan membantah orang tuamu, itu tidak baik. Tapi bagaimana jika kita punya rencana sendiri dengan hidup kita? Mereka bilang lak...