Sia POV
Hari minggu, sehari sebelum semester exam. Sejak pagi yang kulakukan hanya guling-guling di atas kasur sambil membawa buku Kewarganegaraan. Cuma bawa, nggak dibaca.
Jadwal exam besok adalah Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia. Aku sudah membaca keduanya kemarin malam. Aku bahkan begadang karena membaca dua materi itu. Entah kenapa untuk mengulangi membaca materi-materi itu lagi aku sangat malas.
Super malas.
"Yori sedang apa ya sekarang?" gumamku tanpa kusadari.
Aku membelalak sendiri menatap langit-langit kamarku. Bukuku kulemparkan begitu saja ketika aku sadar menggumam tentang Yori. Bisa-bisanya aku memikirkan Yori di saat-saat seperti ini.
Apa mungkin karena aku masih terbayang-bayang punggung Yori beberapa waktu ini?
Punggung yang selalu kulihat ketika di kelas. Punggung yang membelakangiku ketika aku sedang berbicara dengannya. Punggung yang di puk puk oleh Tannia waktu itu. Punggung yang kemarin meninggalkanku di depan toko roti.
Punggung yang sedih. Punggung yang kesepian.
"Dia bahkan tidak bisa berbagi segala kesedihannya dengan kekasihnya sendiri hanya karena kekasihnya sangat dekat dengan orang tuanya. Jika dia tidak bisa bersandar pada kekasihnya sendiri, pada siapa dia akan bersandar? Bagaimana dia bisa bertahan dalam keadaan seperti itu?"
Aku masih menatap langit-langit kamarku hingga tiba-tiba ponselku berdering.
1 sms masuk. Dari Jess.
From : Jess
Sia, aku baru saja dapat kabar kalo ayahnya Yori masuk rumah sakit. Di ICU.
Seperti suara guntur menggelegar menggema di otakku yang belum penuh. Aku membelalak sesaat.
"Kabar macam apa ini? Kenapa mendadak begini?"
To : Jess
Darimana kau tahu? Ini beneran kan?
Aku menunggu balasan dari Jess dengan perasaan campur aduk. Tanganku tak berhenti menaik turunkan layar percakapanku dengan Jess, menunggu ia membalas chatku. Lima menit kemudian, muncul chat baru dari Jess.
From : Jess
Dari Bella, si pop-nerd kelas sebelah yang juga sepupuan sama Yori. Sepupu jauh sih.
Tanpa pikir panjang lagi aku beranjak dari tempat tidurku dan mengambil jaketku. Aku harus memberitahu Yori tentang ini. Entah dia sudah tahu atau belum, tapi aku harus memastikannya sendiri.
Aku segera keluar dari kamarku. Aku tidak tahu jika ayah dan ibu ada di depan ruang keluarga dan melihatku berlari panik.
"Sia? Kenapa lari-lari gitu sih? Kok kamu kelihatannya panik? Ada apa?" tanya ibu. Ayahku dan adikku yang sedang menonton TV juga langsung mengarahkan pandangan penasarannya padaku.
"Eh..anu bu... aku harus ke rumah temanku. Ada hal penting yang harus dia tahu." Ucapku dengan kaki maju mundur seperti kebelet pipis. "Aku buru-buru, Bu. Nanti aku ceritakan lagi. Dah!"
"Tapi bagaimana dengan belajarmu? Besok kan ujian? Sia? Siaaa!!"
Ah, masa bodoh sama omongan ibu. Aku bisa belajar lagi setelah ini. Berita ini lebih penting daripada itu.
Yah, itu menurutku.
Buru-buru aku berlari ke gudang Yori. Jam masih menunjukkan pukul sebelas tapi matahari telah berada di puncak singgasananya dan memancarkan teriknya yang luar biasa panas. Beruntung, aku tak perlu menyeberang untuk sampai di gudang Yori. Terlebih lagi, jalanan tidak begitu ramai. Begitu juga orang yang berlalu lalang di jalanan. Dengan begitu tidak ada halangan yang berarti yang akan menghambatku dan membuatku berlama-lama di tengah terik matahari seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreamcatchers
Teen FictionMereka bilang jangan bermimpi terlalu tinggi, itu sulit dicapai. Tapi bukankah mimpi selalu di atas awan? Mereka bilang jangan membantah orang tuamu, itu tidak baik. Tapi bagaimana jika kita punya rencana sendiri dengan hidup kita? Mereka bilang lak...