24. Tragedy

402 27 3
                                    

Hari pembagian semester report. Seperti pembagian rapor di sekolah pada umumnya, pengambilan rapor wajib dilakukan oleh orang tua/ wali murid. Siswa siswi diperbolehkan masuk sekolah ataupun tidak, karena sekolah menganggap yang berkewajiban hadir di pengambilan rapor adalah orang tua/wali murid.

Hari itu, Sia, Hana dan Jess sengaja janjian untuk masuk sekolah dan memilih menunggui prosesi pembagian rapor mereka. Mereka terlihat duduk di bangku depan kelas sambil sesekali mengintip ke dalam melalui jendela. Sayang, suara Mister Gatot, wali kelas mereka, tidak terdengar jelas dari luar.

Alih alih menunggu rapor, ternyata Sia juga menunggu hal lain. Siapa lagi jika bukan Yori. Lihatlah ia ketika yang lainnya sibuk mengintip ke kelas, ia justru mengamati satu per satu orang yang berlalu lalang di sekitar kelasnya.

"Sia, pembagian rapornya udah selesai."

"Sial, gue deg-degan."

Buru-buru Sia beranjak dari tempat duduknya dan menunggu ibunya keluar dari kelas.

"Ibu," Terlihat Ibu Sia keluar sambil mengamati buku rapor Sia. Sia segera menghampiri dan melihat sendiri hasil belajarnya. "Gimana?"

Sia mendekat di bahu ibunya. Perlahan matanya menyapu segala tulisan dan angka angka di atas buku yang di bawa ibunya itu.

"Ini hasil belajarmu yang bahkan udah diajari sama Nak Yori? Ibu nggak bisa bayangin gimana nilaimu kalo kamu nggak diajari Nak Yori."

Sia masih memaku, memperhatikan satu per satu nilainya. Hampir semua nilainya 7. Itu cukup bagus, baginya. Mengingat nilai ulangan dan kuis Sia selalu dibawah 6. Tapi ada satu yang...

"Kata Pak Gatot, kamu yang paling bawah."

Sia mendengarkan dengan jelas apa yang dikatakan ibunya. Tapi ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. 'Aku pikir aku sudah cukup baik'

Melihat anaknya yang masih menatap buku bersampul hitam dengan tatapan gamang, Ibu Sia menghela napas panjang.

"Sia."

Sia menatap manik mata ibunya.

"Ibu tau sebesar apa keinginanmu menjadi arsitek. Tapi jika nilaimu hanya sebesar ini, apa kamu bisa masuk jurusan teknik sipil di universitas favorit kamu itu?"

Sia tak mampu berkata apapun. Perkataan ibunya seratus persen benar. Sangking benarnya, hatinya ikut tersayat.

Ibu tak berkata apapun lagi dan langsung meninggalkan Sia di tengah keramaian kelasnya. Bagi Sia, saat ini terasa sangat ramai sekaligus sepi.

*****

Hampir dua hari Sia irit bicara. Tak sering keluar kamar, tak sering nonton tv, di ruang makan pun Sia memilih untuk langsung memakan makanannya dan buru-buru balik ke kamar.

"Kak Sia kenapa sih Ma?" Tanya Dimas di meja makan. Ibu tak mampu menjelaskan apapun selain melempar senyuman pada Dimas. Tentu saja itu tidak memuaskan rasa ingin tahu Dimas. Tapi Dimas sadar akan satu hal, bahwa tidak semua hal dapat terdefinisi dengan kata. Mungkin bisa dirasakan, mungkin bisa untuk dipikirkan, tetapi sangat sulit untuk dijelaskan. Karena itulah, lebih mudah melempar senyum daripada harus menjelaskan.

Meskipun Sia tak mengatakan apapun padanya, sebagai seorang ibu, ia bisa merasakan kesulitan yang dirasakan Sia. Sebesar apapun usaha untuk menutupi kegundahan, kau tak akan pernah bisa menyembunyikannya dari orang yang sangat dekat denganmu. Terutama ibumu, yang telah mengenalmu luar dan dalam. Percayalah, setiap ibu punya kepekaan mendalam terhadap segala hal yang terjadi pada anak-anaknya.

Sia tidak pernah berniat mengurung diri. Hanya saja pikirannya sedang ramai saat ini. Ironis bukan? Suatu saat ia bisa merasa sepi diantara keramaian, sedangkan di saat lainnya ia merasa sangat bising padahal ruangannya sangat sepi.

Suara-suara di otaknya lah yang membuat Sia merasa bising. Kejadian demi kejadian selama sekolah berputar berulang di kepalanya.

'Apa yang aku lakukan benar? Apa aku terlalu memaksa ingin jadi arsitek? Apa aku hanya dibutakan oleh mimpi yang sebenarnya tidak bisa ku raih?'

Sia kembali down. Ingatannya kembali pada masa lalu, dimana orang-orang menyepelekannya. Orang-orang terus saja mengatakan bahwa ia hanya pemimpi atau bahkan tak pantas untuk bermimpi. Segala pembullyan itu, membuat mentalnya semakin buruk saat ini.

Tanpa sadar, tangan Sia mencengkram sprei kasurnya. Matanya mengobarkan kekesalan terpendamnya. Kekesalan yang membuatnya ingin meledak. Meledakkan air mata yang kini hampir jatuh.

Di tengah lamunan Sia di atas kasur, mendadak pintu kamarnya terbuka. Muncullah ibu dari balik pintu. Buru-buru Sia mengangkat punggungnya dari sandaran tempat tidurnya.

Ibu berjalan mendekat dan duduk di tepi kasur, dekat dengan Sia. Ia meraih tangan Sia kemudian menggenggamnya.

"Sia," ibu mengatur napasnya. "Ibu tahu kamu sedang banyak pikiran. Punya mimpi besar tapi kemampuan pas-pasan bukanlah hal yang bagus di awal."

"Awalnya memang selalu buruk kan Bu? Tapi aku bisa sampai di sini bu. Aku sudah di sini, di titik ini. Aku bisa melewatinya."

"Ya, ibu tahu kamu adalah gadis yang pantang menyerah. Kamu hebat bisa membuktikan kemampuanmu. Tapi sekarang situasinya berbeda, Sia. Materi pelajaranmu akan menjadi sulit. Sainganmu tidak hanya kelas dan sekolahmu. Akan ada banyak anak di luar sana yang lebih jago, bahkan lebih dari teman-teman sekelasmu."

"Lalu apa masalahnya? Aku bisa berjuang lebih keras." Sia mulai kesal.

"Berjuang saja tidak cukup, Sia..."

"Aku belum berjuang maksimal, Bu. Aku tidak akan berhenti sampai aku menginginkan berhenti."

"Sia, maksud ibu, bukankah lebih baik kau tekuni saja ilmu bahasa? Nilaimu bagus di sana."

"Sudahlah, Bu. Jika ibu mau menyuruhku berhenti bermimpi jadi arsitek, lebih baik ibu keluar saja dari kamarku!"

"Bukan begitu maksud ibu. Ibu mengerti keinginanmu sangat besar, tapi diluar sana kamu bisa jadi apa saja selain arsitek. Kamu hanya perlu tahu kemampuanmu dimana."

"Jadi maksud ibu aku gak mampu jadi arsitek?" suara Sia meninggi. Perlahan rahangnya bergetar. Matanya buram, terdistraksi oleh air mata yang mulai menggenang.

"Bukan begitu maksud ibu..."

Tak ingin mendengar perkataan ibunya lagi, Sia buru-buru beranjak dari kasurnya dan mengambil jaketnya.

"Sia, dengarkan ibu dulu. Bukan begitu maksud ibu.." suara ibu ikut bergetar. Ia mencoba mengikuti Sia, tapi Sia sudah terlalu jauh untuk dikejar. Sia telah keluar dari kamarnya, turun tangga dan tak lama kemudian terdengar suara pintu depan dibanting. Alih-alih ingin membuat hati anaknya lebih baik, ibu justru memperumit keadaan.

'Bukan begitu maksud ibu, Nak. Sungguh'

Setitik air terjatuh dari mata ibu.

Terkadang, hal baik tak selalu dapat disampaikan dengan baik, tak selalu dapat dicerna dengan baik dan tak selalu dimaknai baik. Karena ketika emosi menguasai, otak berjalan sesuai perasaan.

___________________


Hai haiii,
Update lagi. Semoga makin suka~

29102016

DreamcatchersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang