28. Kemana?

328 14 3
                                    

"Yori," panggil Tania, "Kenapa tadi kau buru-buru menyuruh Sia pergi?"

Yori tidak melirik Tania sedikitpun. Matanya masih tertuju pada layar televisi super besar milik Tania. Mulutnya juga tidak berhenti mengunyah kripik singkong yang bungkusnya ia peluk sendiri.

"Bukankah kau tidak suka Sia ada di sini?" balas Yori disela-sela kunyahannya.

"Iya sih. Tapi kan yang seharusnya mengusir Sia itu aku. Kan aku yang punya rumah." Bibir Tania mengerucut. "Selain itu, sebenarnya aku belum tega menyuruhnya pergi."

Yori menyipitkan mata. Ia menangkap hal yang ganjil dari Tania. "Aku pikir kau dan Sia bermusuhan. Tapi sekarang...kau..."

"Jangan salah sangka!" sergah Tania, "Aku memang tidak suka dengan cewek yang sukanya SKSD denganmu itu. Dia menyebalkan."

Yori terkekeh. "Oh ya?"

"Iya."

"Benarkah?

"Itu benar."

"Hmm...jadi begitu. Tapi kini kau tidak terlihat-"

"Sudahlah Yori. Berhenti menggodaku. Kau sama menyebalkannya dengan cewek bodoh itu."

Yori terkekeh melihat muka sebal Tania. Tangan Tania terlipat di depan dada dengan bibir yang dimanyunkan. Ingin rasanya menarik bibir itu, biar si empunya semakin marah.

"Aku tidak benar-benar bermaksud mengusirnya. Hanya saja, dia harus melakukan sesuatu yang benar."

Dahi Tania bertaut.

"Dia harus pulang, Tania. Dia harus menemui ibunya dan menyelesaikan masalahnya. Dia harus meminta maaf sekaligus memaafkan ibunya."

Yori ternyata memang peduli pada gadis itu, batin Tania. Tania tidak bisa mengelak kenyataan bahwa dua orang itu memang dekat. Mereka sekelas, sering menghabiskan waktu bersama, bahkan ketika Yori bermasalah, Sia lah yang tahu lebih dulu tentang Yori. Di situ, terkadang Tania merasa kalah.

Tania mengamati Yori. Hampir 17 tahun Tania mengenal Yori. Terlihat dekat, tetapi terasa jauh. Terlihat akrab, tetapi sesungguhnya ia tidak tahu apapun tentang apa yang dipikirkan Yori. Berbeda dengan Sia yang seolah tahu segalanya tentang Yori, padahal baru beberapa bulan kenal.

"Kenapa kau mengamatiku begitu?" Yori menatap Tania yang sudah panik karena kecolongan. "Apa makanku berantakan? Kau lihat ada kotoran di mataku? Ingusku menetes?"

"Ew." Tania meraih bantal kursi di sampingnya lalu buru-buru melemparkannya tepat di muka Yori. "Kau memang cowok paling jorok sedunia."

***

Blub!

Sebuah kerikil tenggelam ke dasar sungai. Seorang gadis memeluk lutut dengan tangan sibuk mengumpulkan kerikil di sekitarnya. Sesekali ia melempar kerikil itu ke tengah sungai. Sudah hampir 3 jam gadis itu di sana dan masih melakukan hal yang sama.

"Nilaimu buruk. Kau seharusnya malu... Gadis bodoh, kau tidak pantas bercita-cita tinggi... Dengan nilai seperti ini, apa kau mampu meraih cita-citamu... Temen sekolah anak saya, udah belajar mati-matian, tapi nilainya segitu-segitu aja, hahaha..."

Dengan sangat keras, gadis itu melemparkan batu lainnya ke sungai, hingga airnya terciprat mengenai celananya sendiri.

Terlihat jelas gadis itu sedang marah. Emosinya tidak stabil. Dadanya mengembang-mengempis tidak karuan seiring napasnya yang menderu. Tangannya bergetar setelah melempar batu tadi. Ia memeluk lututnya lebih erat, menenggelamkan kepalanya diantara lipatan tangan.

DreamcatchersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang