E-22

4K 404 27
                                    

Author's POV

Dengan ragu ia melangkah mendekati seseorang yang sedang membalut luka di lengan anak kecil yang terus menangis. Laki-laki itu membalut luka tersebut dengan sedikit kesulitan. "Apa kau mau aku bantu?" Tanya Vea seraya ikut berjongkok disamping Qing yang sedang memotong kain kasanya. "Tidak perlu." Jawab laki-laki itu kemudian mengikat perbannya. Vea mengangguk mengerti, dalam hati ia kecewa dan berharap bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk Qing.

"Berlatihlah Ve, sebentar lagi kau bisa saja terjun kedalam perang besar." Ucap Qing seraya sibuk merapihkan peralatan medisnya.

"Kau panglima yang baik." Jawab Vea asal seraya memperhatikan setiap gerak-gerik Qing.

"Apa?" Qing bertanya sembari menatap wajah Vea yang menyorotkan kekosongan.

"Tetapi aku merindukanmu yang dulu Qing." Lirih Vea kemudian menunduk. Qing mengerutkan keningnya, membuat kedua alisnya hampir menyatu.

"Apa maksud-"

"Maaf aku harus berlatih." Vea memotong ucapan Qing dan langsung berdiri. Ia melangkahkan kakinya pergi dari tempat itu.

Apasih yang aku katakan? Tak seharusnya kau berbicara seperti itu Ve! Batinnya pada dirinya sendiri.

Vea berjalan terus menyusuri jalanan menuju kembali ke istana. Sesampainya disana, ia tidak pergi keruang pelatihan, melainkan masuk kedalam perpustakaan besar yang sudah tua disudut istana.

"Lizzain, aku butuh buku tentang penyihir hitam." Pinta Vea pada penjaga perpustakaan tua itu. Wanita cantik berambut blonde itu mendongak dari bukunya dan tersenyum kearah Vea.

"Rak nomor 2 disudut Barat, Tuan Putri." Jawab Lizzain dengan ramah. Vea mengangguk dan menggumamkan kata terimakasih, kemudian menghampiri rak besar yang diberitahukan Lizzain.

Tangannya menyapu satu-persatu buku tua yang rata-rata tebal dan bersampul kulit. Kebanyakan sudah diselubungi debu dan terlihat rusak. Ini sudut perpustakaan yang jarang sekali dikunjungi, sehingga buku-bukunya seperti sudah tersimpan ribuan tahun. Matanya berhenti pada buku setebal 4 centimeter bersampul jingga yang tampak kotor dan berdebu. The Black Witch. Begitulah judul buku tua itu. Vea mengambilnya dan langsung membaca halaman pertamanya,

Ini dia yang kucari. Batinnya dengan senyum senang yang langsung terukir diwajahnya. Ia kembali berjalan menuju pintu perpustakaan. "Aku pinjam buku ini ya Liz!" Ucapnya seraya mengangkat tangannya yang memegang buku jingga itu. Lizzain hanya tersenyum dan mengangguk, kemudian Vea langsung melenggang pergi keluar dari perpustakaan.

••

Kalau kau ingin melawannya, kau perlu banyak energi biru untuk mematahkan mantra penyamaran mereka.

Vea mengacak rambutnya dengan kesal diatas kasurnya. Banyak kata-kata yang ia tidak mengerti apa maknanya.

Energi biru?

Vea tak pernah mendengarnya. Lantas bagaimana caranya ia membuka kedok Avenda-ratu penyihir hitam- itu. Ia harus mencari tahu lagi.

Ia membalik halaman buku itu lagi dan mulai membacanya lagi. Wajahnya terlihat lebih mendapat pencerahan setelah membaca kata demi kata di halaman itu. "Aku mengerti!" Serunya dengan wajah sumringah dan semangat. Ia menutup buku itu dan meletakkannya diatas meja kerjanya, lalu berlari keluar dari kamarnya.

••

Suasana tempat pelatihan memang selalu ramai akhir-akhir ini. Semua pasukan masih setia mengasah kemampuannya meskipun hari mulai gelap. Vea berjalan menuju tempat pergudangan senjata, kemudian mengambil sebuah tongkat sepanjang dua meter, juga sebuah botol kaca seukuran botol anggur di kedai.

Ia kemudian berlari keluar dari bangunan itu dan berjalan menuju gedung kayu yang sudah sepi saat petang seperti ini. Tidak ada orang selain dia di tempat itu, sehingga gadis itu dengan leluasa masuk kebagian paling dalam bangunan itu.

Vea berhenti didepan satu-satunya dinding yang terbuat dari batu, berbeda dari yang lainnya yang terbuat dari kayu. Dengan sekuat tenaga ia mendorong sebuah lemari tua berisi peluru-peluru dan busur panah yang begitu berat baginya. Ia mendorongnya kesamping dan kemudian tampaklah sebuah pintu berukuran setinggi pinggang manusia. Lebarnya kira-kira dua meter.

Dengan terburu-buru ia membuka rantai yang melilit knop pintu kecil itu. Hingga  bunyi berderek itu kembali terdengar oleh telinganya lagi setelah sekian lama tidak mendengarnya. Vea memutar knopnya dan mendorongnya pelan, yang seperti biasa akan langsung menampakkan kegelapan yang menyeramkan bagi gadis itu. Dengan mencoba untuk berani, ia memasukkan dirinya kedalam ruangan yang sangat ia pahami itu. Dengan rasa takut dan jantung berdetak keras seperti biasanya, gadis itu masuk kedalamnya dan menutup pintu kecil itu.

Ia agak terhenyak saat tiba-tiba cahaya temaram dari obor kayu menerangi ruangan itu. Namun ia mulai terbiasa akan hal-hal semacam itu, walau sekarang harus menghadapinya sendirian, tanpa Qing. Obor-obor lain mulai menyala dengan sendirinya tanpa diperintahkan. Vea sebenarnya agak takut dengan hal itu, tapi ia mencoba untuk tidak menghiraukannya meski sekarang ia terjebak dalam ketakutan yang ada dilubuk hatinya.

Ia berjalan dan berjongkok ditengah ruangan berbentuk lingkaran itu, mencoba mengingat-ingat bagaimana cara Qing mengeluarkan api-api biru itu. Kemudian tangannya menyentuh lantai batu berwarna abu-abu. Ia mengerutkan dahinya dan berpikir keras. Akan tetapi tiba-tiba cahaya biru menyebar diseluruh lantai ruangan itu, membentuk pentagram-pentagram rumit dan pola-pola yang indah. Vea langsung menjauhkan dirinya dari pusat semua pola dan pentagram yang tadi ia sentuh itu. Tepat ditengah ruangan, api berwarna biru muncul dan berkobar disana, namun tidak menyebar. Hal itu membuat Vea tersenyum puas karena merasa berhasil melakukannya.

Vea mengambil botol dan tongkat yang sejak tadi ia letakkan didekatnya. Ia membuka tutup botol itu dan terdiam menatap api biru dihadapannya.

Vea menghembuskan nafasnya, "aku harus berani, aku pasti bisa." Ucapnya menenangkan dirinya sendiri. Ia mengulurkan tangannya dan memasukkan tangan kanannya kedalam api itu seraya menutup mata dengan takut.

10 detik kemudian ia kembali membuka matanya, "rasanya tidak panas ya." Katanya dan menarik tangan kanannya lagi, membuat sebuah gumpalan api biru ikut melayang diatas telapak tangannya. Dengan handal, ia mengendalikan api-api itu agar masuk kedalam botol kaca itu, kemudian menutupnya dan meletakkannya. Selanjutnya ia harus membakar tongkat sepanjang dua meter itu dengan api biru itu untuk menjalankan rencananya.

Dua menit berlalu, ujung tongkat yang Vea masukkan kedalam kobaran api biru itu agak menciut, namun tidak panas saat disentuh.

"Apa yang kau lakukan disini?"

Vea terkesiap dan langsung menoleh kebelakang. Mendapati laki-laki itu berdiri dengan wajah dinginnya.




•••

By Rainytale

EvergenityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang