E-24

3.5K 385 32
                                    

Hening. Lembab. Dan gelap.

Suara tetesan air yang terjatuh terdengar begitu jelas di pendengaran, membuat seorang gadis didalam sel meliuk tidak nyaman. Tangannya yang lemah bergerak didalam rantai yang ikut berderak pelan. Kelopak matanya terbuka perlahan dengan kantung mata yang besar. Sesak menjalari dadanya kala mengingat tempat itu begitu minim oksigen.

Dimana ini? Batinnya pertama kali saat otaknya mulai mencerna situasi di sekelilingnya. Sel dengan dinding batu berlumut yang licin dan lembab. Lantai yang tak lain merupakan tanah merah yang langsung mengotori pakaian basahnya.

Vea terlihat begitu kacau. Dengan pakaian pontang-panting yang robek di beberapa tempat. Luka-luka kecil menggores kulit bersihnya yang kini begitu kotor. Rambutnyapun acak-acakan tidak jelas. Ia dalam posisi terduduk ditanah dengan kedua tangan dirantai keatas.

Ia mengeluh ketika memar-memar ditubuhnya terasa sakit dan ngilu. "Sial, tempat apa ini? Apa yang harus aku lakukan?" Ia mencoba berdiri perlahan dan menggerakkan kedua tangannya yang di rantai.

"Sedang apa kau manis?" Seseorang tiba-tiba muncul dihadapannya dengan asap abu-abu yang mengelilinginya.

Vea termangu, ia diam dengan wajah datarnya dan tetap tenang, ia merasa pernah melihat orang ini sebelumnya, tapi dalam versi yang berbeda.

"Jadi kau yang telah membunuh saudari kembarku di kamarmu?" Ucap perempuan penyihir itu dengan rahang yang mulai mengeras dan tatapan dendam.

"Kau? Saudari kembar utusan yang muncul di cermin kamarku?" Vea bertanya dengan mimik seolah-olah baru melihat tikus menjijikan. "Pantas saja kalian berdua sangat mirip. Angkuh dan menyebalkan." Lanjutnya seraya memutar bola matanya.

"Jika ratu tidak mengutusku untuk menjemputmu dan membawamu padanya, aku sudah menghabisimu sekarang juga." Kata penyihir hitam itu dengan raut kebencian yang begitu kentara.

"Aku tidak peduli." Jawab Vea dengan acuh dan memalingkan wajahnya.

"Apa kau juga tidak peduli dengan ini?" Tanya penyihir itu seraya membuat kepulan asap abu-abu diatas telapak tangan kanannya yang menengadah keatas. Perlahan kepulan asap itu menampilkan gambaran peristiwa yang langsung menarik perhatian Vea.

Disana terlihat Qing dengan dada tertusuk tombak hitam hingga menembus sampai ke punggungnya.

"Qing!"

**

Orang-orang terus melakukan persiapan untuk perang. Senjata, obat-obatan, pasukan, semuanya dipersiapkan sangat matang setelah peringatan perang tiga hari yang lalu.

Putri mereka menghilang. Seorang 'Yang Terpilih' yang diramalkan menyelamatkan Evergenity dari kehancuran justru menghilang diculik tiga hari yang lalu. Semua bersedih, tapi tak satupun orang menunjukkannya dalam raut wajah mereka, termasuk Qing.

Laki-laki itu tetap sibuk dengan semua kegiatannya mempersiapkan perang besar yang akan menjadi sejarah. Entah sejarah tentang kehancuran Evergenity dan Dunia Tengah, atau sejarah kemusnahan black witch.

Para pengintai yang diutus ratu Rossi belum juga membawa kabar baik tentang keberadaan dan bagaimana keadaan Tuan Putri Vea Sage. Hal itu membuat Qing sangat frustasi dan beberapa kali menyesali perbuatannya di hari-hari yang lalu.

"Kenapa aku begitu bodoh?" Qing mengacak-acak rambutnya frustasi didalam ruang kerjanya. Ia berdiri dari kursinya, berhenti didepan jendela kaca besar yang menampilkan hamparan hutan luas. Matahari mulai terbenam, memperlihatkan lukisan senja di langit.

Besok adalah hari keempat ia kehilangan gadisnya, kehilangan wanita yang selalu ia jaga walaupun akhir-akhir ini ia abaikan, dan bahkan ia buat sakit hati. Ia menyesal melakukan hal itu. Ia terlalu bahagia atas kembalinya Zeeli, yang ternyata palsu.

Tatapannya sendu melihat hamparan hutan dibalut langit senja. "Ve...kau ada dimana?" Lirihnya dengan suara menyesal bercampur kesedihan. Ia takut kalau ia nanti putus asa, putus asa mencari gadis itu dan kehilangan Vea untuk selamanya.

"Aku merindukanmu."

***

By Rainytale

EvergenityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang