Selepas Erina keluar dari kamar rawat Erica, Agel masuk ke ruangan itu dengan langkah cepat. Ia sedikit meragukan Erina.
Sekarang ia sudah duduk di tepi ranjang rumah sakit Erica. Ingin sekali rasanya ia menggenggam tangan itu, tapi ia urungkan niatnya karena tangan Erica yang di perban.
"Kau tidak apa-apa 'kan, An? Aku takut Erin melakukan sesuatu hal yang buruk padamu," gumam Agel sambil membaringkan tubuh lelahnya di sebelah Erica. Agel sama sekali tidak ingin tidur. Ia ingin saat Erica siuman, ia-lah orang pertama yang Erica lihat.
"An, aku akan menunggumu Sayang, cepat bangun. Aku merindukanmu, jangan tidur terus, An. Aku tidak ingin melihatmu seperti ini, An. Kumohon bangunlah...." pinta Agel penuh memohon dan dia kembali menitikkan air matanya.
Diusapnya pelan sudut mata Erica yang basah karena air mata, "An, kau tahu penyesalan terbesar dalam hidupku apa? Aku yang tidak berhasil menjagamu dengan baik. Aku bodoh, An," Agel menelan air liurnya dengan susah payah. Dadanya sesak sampai ia sangat sulit untuk bernapas.
Dihelanya napasnya dengan pelan lalu ia memejamkan matanya sebentar.
"Aku bodoh, An. Apa lagi aku yang pernah meninggalkanmu dalam waktu yang lama. Demi Tuhan, aku sangat menyesal. Aku tahu kau tidak pernah baik-baik saja saat aku pergi. Karena saat kau sakit, aku juga sakit, An. Maaf...." Agel kembali membuka matanya, sebelah tangannya melingkar di perut Erica.
Agel yang posisinya menghadap Erica, hanya bisa mengamati wajah pucat itu. Bahkan dokter mengatakan kalau kondisi Erica belum ada kemajuan.
Erica seperti enggan untuk membuka matanya."Hah, apa kau tahu kalau aku sudah menyuruh mereka menyiapkan pernikahan kita?" Agel tersenyum tipis. Ia menarik tangannya dari perut Erica dan berpindah mengelus wajah dan hidung Erica bergantian.
Agel masih ingat betul kalau Erica akan merajuk setiap ia melakukan hal yang ia lakukan sekarang.
"Aku sudah tidak sabar lagi, An. Sebentar lagi impian kita akan tercapai. Tapi, kau harus bangun dulu...." gumam Agel dan senyum itu sudah tidak ada lagi di wajahnya.
Ia menatap Erica sendu, dikecupnya wajah dan hidung Erica bergantian lalu dia terkekeh pelan.
"Aku rasa aku akan gila kalau seperti ini terus, An. Bangunlah Sayang. Hah, apa kau ingin balas dendam padaku karena kau menungguku terlalu lama, hmm?" Agel meringis pelan.
"Aku tidak akan menyerah, An. Aku tidak mau tidur sebelum kau bangun...!" masih saja bersikeras dengan keinginannya, padahal ia sendiri tidak sedang baik-baik saja.
Agel mengerang frustrasi karena Erica yang tak kunjung bangun.
"Baiklah ... baiklah ... aku tahu kau marah padaku. Aku minta maaf...." kata Agel yang masih terus mengajak Erica berbicara. Mengesampingkan rasa lelah dan kantuknya. Baginya, Erica yang paling terutama.
"Astaga! Kalau kau bangun pasti akan memarahiku karena banyak bicara. Yah, kau tahu sendiri An kalau aku hanya akan banyak bicara seperti ini hanya padamu saja, meskipun kadang kau kesal padaku tapi kau pendengar yang baik. Mendengar keluh-kasahku dengan sabar...." Agel terkekeh lagi. Itu memang benar. Ia lebih terbuka kepada Erica dari pada kepada orang tuanya.
Bahkan saat Agel kuliah, ia hampir tidak ada berbicara seharian. Ia tipikal orang yang memang pendiam dan saat sudah bersama Erica, dlia berubah total yang kadang membuat Erica kesal.
Agel menyentuh pelan perban yang melingkar di kepala Erica.
Is tersenyum miris saat ia teringat kembali saat dokter mengatakan Erica kehilangan sedikit rambutnya di kepala belakang untuk menjahit lukanya yang terbentur dengan aspal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amour Vrai
Romance[Sudah Terbit dan Tersedia di Gramedia] Seri ke-II My Protective Husband [CERITA DI PRIVATE Dan MASIH UTUH!] Kehidupan Erica Arianna Clinton awalnya baik-baik saja. Bahagia bersama orang yang ia cintai. Tapi siapa sangka, kebahagiaan yang di rasakan...