Don't Want To Lose You

132 14 9
                                    

Geby POV

Aku tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Kekasihku memasangkan cincin tunangan kami di jari manis sahabatku sendiri!? Apa yang ia pikirkan?

Kini, kulihat Mia yang menatapku ragu.

Apa yang membuatnya ragu? Kenapa ia tidak langsung menolaknya?

Tatapan mataku tak lepas darinya. Jantungku berdebar kencang menunggu tindakan Mia selanjutnya.

Mia ... Mengapa kau masih bimbang seperti itu? Apa kau menyukai Aidan? Sejak kapan?

Kulihat Aidan membisikkan sesuatu padanya yang tak dapat kudengar dengan jelas.

Mia menatap Aidan kesal dan memasangkan cincin di jari manis Aidan.

Apa maksudnya? Bukankah seharusnya aku yang melakukannya?

"AIDAN!" panggil Mama geram.

Tanpa sadar mataku mulai berkaca-kaca melihat kejadian di hadapanku.

"APA YANG KAU LAKUKAN!?" tanya Mama seraya menghampiri mereka.

"Memasangkan cincin di jari manis gadis pilihanku."

"APA?!"

"Ma, Gabriella gadis yang baik. Aku tidak ingin menyakiti perasaannya hanya untuk perusahaan."

Setelah mengatakan hal itu, Aidan menggandeng tangan Mia dan membawanya pergi meninggalkan restoran tanpa menghiraukan teriakan Mama.

Kurasakan usapan lembut di pipiku.

Tanpa sadar air mataku mulai menetes membasahi pipiku. Ibu memelukku dan membelai rambutku mencoba untuk menenangkanku.

******

Kuperhatikan wajah cantikku yang kini tampak mengerikan di cermin. Sudah berapa lama aku menangis?

Aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja kualami. Mia, sahabatku mengkhianatiku begitu saja dan pergi bersama Aidan entah ke mana. Apa dia lupa dengan persahabatan kami? Sejak kapan mereka menjalin hubungan? Mengapa dia tega menyakitiku seperti ini?

Kembali air mata mengalir di pipiku. Beginikah rasanya dikhianati? Mengapa aku harus patah hati lagi seperti ini? Selalu saja gagal. Setiap kali aku menjalin hubungan, selalu saja berakhir seperti ini. Apa salahku?

Kutundukkan wajahku mengingat adegan menyakitkan yang selalu terlintas di benakku. Sulit rasanya melupakannya dan mengobati rasa sakit hatiku pada mereka. Salahkah aku jika memutuskan untuk tak memaafkan mereka?

Tok tok tok.

Ketukan di pintu membuatku segera membasuh wajahku membersihkan sisa air mata dan ingusku.

"Mau sampe kapan kamu ngurung diri di toilet? Buka pintunya!"

Sekali lagi kulihat wajahku di cermin memastikan agar tak terlihat terlalu menyedihkan sebelum membuka pintu dan membiarkan Ibu masuk.

"Sudah mendingan?" tanyanya khawatir.

Kuanggukkan wajahku tersenyum lemah menatap Ibu.

"Sayang, kita makan yuk. Dari tadi kamu belum makan."

Aku menggelengkan kepalaku mantap.

"Lala gak nafsu makan Bu. Lala capek. Lala mau tidur aja."

Ibu mengangguk pasrah dan meninggalkanku di kamar hotel sendiri.

Kupejamkan mataku berusaha untuk tidur.

Meong.

Mataku seketika terbuka.

SOBA NI ITAI √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang