The Truth

59 5 0
                                    

Aidan POV

Tepukan di bahuku mengagetkanku dari lamunanku. Sudah berapa lama aku melamun seperti ini? Melihat ekspresi kesal di wajah Klarisa, sepertinya cukup lama aku tidak mendengarkannya bercerita entah apa yang ia ceritakan. Pikiranku masih tertuju pada wajah Mia malam itu. Terlihat jelas gadis itu terpaku melihat Tio takjub. Aku tak mengerti jalan pikirannya. Sebenarnya siapa orang yang ia sukai selama ini?

"Kak Aidan!" seru Klarisa kesal.

"Maaf," ucapku tersenyum tipis.

"Apa ada masalah? Dari tadi Kakak ngelamun terus."

"Tidak ada. Kakak hanya butuh istirahat sebentar," jawabku lalu bangkit dari sofa.

"Kakak mau kemana?" tanya Klarisa ikut bangkit dari tempat duduknya.

"Kakak ingin pergi ke suatu tempat."

"SENDIRI," lanjutku menekankan intonasiku saat melihat Klarisa mengambil tasnya lalu berjalan mengikutiku.

Gadis itu seketika menghentikan langkahnya lalu menatapku sedih.

"Maaf Klarisa. Kakak ingin sendirian saat ini."

Kini, gadis itu mengangguk mengerti lalu kembali duduk di sofa. "Hati-hati Kak," ucapnya pelan saat aku keluar dari ruanganku namun masih dapat tertangkap oleh indra pendengaranku.

Langkah kakiku semakin cepat meninggalkan kantor ayah. Mia membuatku tidak dapat fokus seminggu ini. Semakin kupikirkan hanya membuatku semakin pusing saja. Aku harus mendapatkan penjelasan darinya sebelum keberangkatanku ke Amerika bulan depan.

Kurogoh kantong celanaku mengambil kunci mobilku ketika sampai di depan mobil sedan hitam milikku lalu bergegas masuk ke mobil dan mengemudikannya secepat mungkin. Gadis itu membuatku uring-uringan. Emosiku tak dapat terbendung lagi. Tanpa sadar tanganku mencengkeram setir mobil sangat kuat. Padatnya lalu lintas di jalanan menghambat laju mobilku dan menambah kekesalanku. "SIAL!" umpatku seraya memukul kemudi mobilku dan membunyikan klakson mobilku berulang kali.

Kupejamkan mataku dan mengatur napasku mencoba meredakan emosiku yang tinggi sebelum kembali menyetir.

Kembali pertanyaan-pertanyaan itu terngiang di pikiranku. Saat ia mengobati lukaku bukankah ia mengatakan bahwa ia menyukaiku? Lalu mengapa malam itu ia berpegangan tangan dengan Kak Ken di taman dengan mesranya? Kupikir selama ini, Mia masih menyukai Kak Ken. Kupikir saat itu aku hanya salah paham dengan sikapnya yang mendekatiku karena sebenarnya ia ingin dekat kembali dengan Kak Ken. Aku tahu ia mengalami amnesia. Aku tahu itu. Namun dari sebuah film yang kulihat dulu, terdapat pesan yang menyadarkanku akan perasaan yang murni.

Seseorang bisa saja kehilangan ingatannya namun tidak dengan perasaannya. Ia mungkin saja tidak mengenali orang yang ia sayangi namun hatinya tetap mengenalinya.

Setiap aku dekat dengannya, aku selalu menahan diriku serta emosiku agar ia tidak menyadari perasaanku. Akal sehatku menyuruhku agar tidak merebutnya dari kakakku sendiri. Sedangkan hatiku selalu menjerit dan tak ingin melepaskan Mia lagi. Amnesia yang ia alami merupakan kesempatan bagiku untuk mengutarakan perasaanku padanya dan bergerak maju. Namun, melihat kebersamaan Mia dan Kak Ken membuatku mengurungkan niatku dan mundur teratur hingga tanpa sadar aku meluapkan emosiku pada gadis yang kusayangi dan membuatku semakin terpuruk. Ya! Aku tahu kalau aku ini sosok pria yang pengecut! Aku tahu itu.

Kukemudikan mobilku perlahan berusaha mengobati rasa sakit di hatiku. Rasa sayangku terlalu besar hingga tak dapat merelakan gadis itu bersanding dengan pria lain meskipun pria tersebut adalah kakakku sendiri. Aku terus berdebat dalam pikiranku antara membiarkan Kak Ken bahagia atau aku yang bahagia. Kebimbangan dalam diriku membuatku tanpa sadar terus menjauhkan Mia dari Kak Ken dan memaksanya untuk terus berpihak padaku. Namun rasa bersalahku justru membuatnya kebingungan akan sikapku yang tidak konsisten.

SOBA NI ITAI √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang