Mine!

124 5 6
                                    

Mia POV

Deburan ombak di tepi pantai menyejukkan mata dan pikiran. Perlahan angin pantai berhembus menerpa wajahku lembut. Mataku terpejam menikmati setiap alunan suara ombak yang silih berganti membasahi kaki telanjangku. Kubiarkan rambutku yang terurai terangkat mengikuti gerakan angin yang semakin kencang. Hatiku terasa tentram dan pikiranku menjadi ringan seketika lupa akan masalah dan perasaanku yang semakin rumit tak bisa kumengerti. Perlahan kuhembuskan napasku lalu menarik napas dalam mencoba untuk rileks.

"Mia," panggilnya lembut.

Dapat kurasakan langkah kakinya yang semakin mendekat. Mataku perlahan terbuka mendapati pemandangan lautan biru yang tenang di hadapanku.

"Mia," panggilnya sekali lagi meminta perhatianku.

Kutolehkan wajahku menatap wajah tampannya yang terlihat semakin tirus dan lingkaran hitam yang sangat jelas. Penampilannya juga terlihat berantakan.

Apa yang membuatnya seperti ini?

Aku tersenyum menatapnya dan berjalan mendekat. Tanganku terulur menyentuh poni rambutnya yang sudah panjang dan mulai menutupi kelopak matanya itu lalu minyingkapnya hingga memperlihatkan beberapa kerutan di dahinya. Keadaannya benar-benar kacau saat ini.

"Apa pekerjaanmu sangat membebani pikiranmu, sampai kamu stres kayak gini?" tanyaku menatapnya prihatin.

"Bukan pekerjaan yang bikin aku jadi kayak gini," jawabnya yang membuatku menatapnya bingung.

"Tapi kamu," lanjutnya yang semakin menambah kerutan di dahiku tak mengerti.

"Tiba-tiba saja kau menghilang dan sulit untuk kuhubungi."

"Oh, maaf. Aku ganti nomer," jelasku padanya membuatnya menghela napas lelah.

"Kau juga tidak pergi ke sekolah dan jarang keluar dari rumah. Aku sempat melihat kakimu diperban. Kau tidak apa-apa?" tanyanya mengagetkanku.

Sejak kapan dia datang kesini?

"Udah sembuh kok. Ngomong-ngomong, sejak kapan kamu ada di Bandung? Seingetku udah tiga hari yang lalu perbanku dilepas," tanyaku menatapnya penasaran.

"Sebenarnya udah lima hari aku di Bandung. Berhubung aku tidak bisa menghubungimu, aku menunggumu setiap jam pulang sekolah. Untunglah hari ini kau tidak dijemput melainkan naik bus," jelasnya tersenyum hangat lalu mengusap kepalaku perlahan.

"Kenapa kamu gak ke rumahku aja?" tanyaku menatapnya sedih dan merasa bersalah.

"Aku belum siap bertemu dengan orang tuamu."

"Apaan. Pake gak siap ketemu orang tua aku. Kayak mau ngelamar aja," candaku menatapnya heran.

Ia hanya tersenyum tipis mendengar ucapanku.

Setelah itu, kami terdiam tanpa mengucapkan apa pun lagi. Sibuk memikirkan sesuatu.

Aku teringat kejadian sebelumnya. Yamaken berdiri menungguku di halte bus lalu langsung membawaku kemari. Kalau begitu, apa mungkin lima hari terakhir ini dia menungguku disana?

"Yamaken, maksudku Kak Yamaken ... Aku minta maaf," sesalku menatapnya penuh penyesalan.

Ia tersenyum lalu menganggukkan kepalanya.

"Tidak apa-apa. Setidaknya aku-" ucapannya terpotong karena nada dering handphone-ku yang berbunyi.

"Halo?"

"Kamu dimana?" tanya Aidan dari seberang telepon.

"Pantai deket rumah."

SOBA NI ITAI √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang