**Here 21** : Mencoba Menjaga yang Tersisa

1.3K 151 43
                                    

Lamaa gk muncuuul!!! ✘Д✘◍
Gomen!! Lama bgt saya gk uppp!!! Jgn bacook sayaa!!! .·'¯'(>▂<)'¯'·. [Lebay lu Thor!!]

Ehem!! Alasan utama saya gk bisa up cpt yaa... tugas saya bejibun... (;ω;) /pundung d pojokan
Dan bukan hny itu saja. Tp jg karna kepala saya yg mendadak blank, dan memaksa saya untuk bca berbagai macam manga yg saya tmukan (×_×;

Haah, sudahlah. Saya gk bisa jamin klo k dpnnya bisa cpt up lg... gomen, Reader-san!! ('Д')y

Maa, yasudahlah, terlalu byk curcol. Jd, langsung aja deh yak?? Check it out!! Mogaa gk berkurang Readernya, ckckck :'v

...

Di bawah guyuran hujan yang tidak terlalu deras di pagi hari di kota Kyoto ini, sebuah batu nisan nampak seperti menangis akibat butiran-butiran air yang dijatuhkan Yang Maha Kuasa melalui awan-awan hitam yang mengelilingi kota tersebut. Tidak hanya satu batu nisan, namun puluhan dan mungkin ratusan nisan di makam itu juga tampak menangis. Tapi kita tidak mungkin membahas nisan lainnya, karena yang kita perlukan hanya satu. Yaitu nisan milik Ayahmu yang meninggal belum lama ini, (first name).

Payung hitam yang kamu bawa kemudian diambil alih oleh seseorang yang awalnya kamu suruh dia menunggu di dalam mobil saja di luar area pemakaman. Entah apa yang dipikirkan pria itu sampai rela berjalan berbasah-berbasahan, hanya untuk berdiri di sampingmu dan memegangi payungmu sebagai gantinya. Maa, mungkin itu maunya.

Kepalamu terus tertunduk, memperhatikan tiap butiran air yang menetes dari langit, kemudian jatuh di atas nisan kelabu tersebut, sampai butiran-butiran itu turun perlahan dari ujung nisan hingga ke tanah di mana ia ditancapkan. Benar-benar seperti air mata, pikirmu memberi tanggapan atas apa yang dilakukan rintikan hujan yang kadang bisa kamu dengar tangisannya di sana.

Pria di sampingmu yang sejak kedatangannya melihat terus ke arahmu, kini teralih pada langit di atas sana. Masih kelabu, dan masih bisa memberikan hujan yang lebih banyak lagi. Dan ini tidak akan baik untuknya...

Sebuah tangan besar kamu rasakan merangkul pundakmu yang mulai naik-turun, mencoba menahan tangis. Kepalamu menoleh refleks ke arah si pemilik tangan. "Ap-apa?" tanyamu kemudian dengan kepala yang kembali dialihkan pada sang batu.

Midorima Shintarou, si laki-laki, menghela napas. "Kita kembali-nodayo," ucapnya. "Hujan nampaknya akan makin deras."

Seakan tidak ingin pergi--dan memang tidak ingin pergi, kamu terus saja menatapi nisan itu. Rasanya benar-benar ingin Ayahmu tiba-tiba bangkit, kemudian berjalan berdampingan denganmu hingga sampai ke rumah kalian. Terdengar seram, memang. Tapi memang itu yang kebanyakan orang pikirkan terhadap orang kesayangan mereka yang lebih dulu pergi, bukan? Termasuk dirimu, (first name).

Menarik napas panjang, kemudian dibuang kembali. Itu kamu lakukan, berharap bisa lebih tenang. Dan sepertinya berhasil. "Ayo," ajak Midorima dengan tangan yang masih merangkul pundakmu.

Sebisa mungkin, sebisa mungkin kamu berjalan terus tanpa menoleh ke belakang. Sesakit apapun, sesedih apapun, kamu harus bisa merelakannya. Ya, merelakan dan mengikhlaskan bukan berarti kalah. Meski aku harus merasakannya dua kali sekaligus dalam rentang waktu yang begitu dekat, bisikmu pada pikiranmu sendiri.

Di bawah guyuran hujan itulah, di mana kamu yang biasanya ceria dan cerah menghadapi segala jenis hari, tertunduk lesu sedih, namun juga menatap ke depan dengan tekad kuat.

Aku memang mencintaimu, Akashi. Namun aku juga harus bisa merelakanmu, walau aku tak sanggup menahan perasaan ini...
Perasaan cinta yang terlanjur jadi besar ini...

I'm Here...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang