The Beginning

11.3K 655 116
                                    

Paris, kota dimana sejarah dan modernisasi bersatu dengan apik. Kota ini adalah pusat fashion dunia dimana brand ternama seperti Channel dan Louis Vuitton lahir. Paris juga dinobatkan sebagai kota romantis sedunia. Tak heran jika disetiap sudut jalan terdapat berbagai pasangan dengan berbagai usia tengah menebar romansa cinta yang endingnya akan berakhir di bawah Eiffel Tower sambil berciuman.

Namun keromantisan seperti ini bukanlah untuk pria single sepertiku. Ngomong – ngomong, sudah satu minggu aku berada di Paris. Aku cukup menikmati keindahan seni ukir pada abad Rennaisance post-modern, kue – kue pastry lezat, dan kecantikan paras wanita Perancis saja.

Tapi tinggal di Paris tidak semudah yang kubayangkan. Apalagi saat ini aku tidak memiliki pekerjaan sehingga aku hanya mengandalkan uang tabunganku yang makin lama makin menipis. Sebenarnya aku bisa saja meminta pada ayah untuk mengirim uang padaku. Sayangnya, aku terlalu malu untuk meminta uang padanya. Lagipula tinggal di Paris adalah keputusanku setelah ayah dan ibu bercerai beberapa bulan yang lalu. Jadi aku tidak mau merepotkannya sama sekali.

Setelah perceraian kedua orang tuaku, aku ingin sendiri, jauh dari semua orang yang sok mengasihaniku. Sebenarnya sudah lama hubungan pernikahan kedua orang tuaku hancur. Ayahku adalah seorang komisaris kepolisian yang selalu sibuk menangani berbagai kasus kriminal di Metropolis. Sedangkan ibuku adalah seorang mantan model yang sekarang bekerja dibidang fashion disalah satu rumah mode terkenal dunia sebagai perancang busana. Pekerjaannya itu membuat ibuku jarang sekali ada dirumah. Rumahku menjadi sangat sepi bahkan aku jarang sekali bertemu dengan kedua orang tuaku.

Untungnya aku mempunyai empat orang sahabat yang selalu ada disampingku, saat aku susah maupun senang. Tapi hal itu tak berlangsung lama karena mereka pun mulai meninggalkanku. Mungkin ini yang dinamakan realita kehidupan. Semuanya akan pergi untuk mengejar cita – cita dan impiannya masing – masing.

Aku ingat malam dimana aku memutuskan untuk hijrah ke Paris. Saat itu aku sedang merenung diatas rooftop sebuah gedung tinggi di Metropolis. Dari rooftop gedung ini aku dapat melihat hamparan gedung – gedung pencakar langit yang gemerlapan karena cahaya lampu. Angin malam bertiup pelan. Dan juga suara klakson mobil yang bersautan dari bawah sana. Berisik sekali! Tapi inilah ibu kota.

Seharusnya saat ini aku sedang berkumpul bersama kedua orang tuaku. Berbagi keluh kesah mengenai masa depan dimana aku harus menjadi sosok yang mandiri dan bertanggungjawab untuk diriku sendiri. Mungkin ini adalah khayalanku yang terlalu tinggi dan takkan pernah terwujud. Orang tua ku bercerai dua hari setelah hari kelulusanku. Ironis bukan!

Orang – orang disekitarku selalu bertanya 'apa kau baik – baik saja?' Setiap saat bahkan setiap waktu hingga aku bosan. Apalagi mereka menatapku dengan tatapan iba dan kasihan yang membuatku cukup muak. Apa mereka berpikir aku akan menjadi salah satu anak broken home yang akan melakukan hal – hal nekat yang merugikan diriku sendiri? Aku bukanlah anak bodoh yang akan menenggelamkan diri ke dalam pusaran obat – obatan terlarang. Atau melakukan hal buruk seperti menyakiti diriku sendiri hingga berujung kematian. Pikiran mereka salah! Aku tidak selemah itu.

Berbagai macam hal memenuhi kepalaku hingga aku tak sadar jika disebelahku telah berdiri seorang anak laki – laki. Aku berbalik lalu menatapnya.

"Ternyata kau disini." Ujarnya.

"Kau mencariku?" tanyaku pada bocah berambut gondrong dihadapanku.

Dia adalah Erick Alcander, sahabat yang sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri. Aku telah mengenalnya sejak kecil. Kedua orangtua kami adalah sahabat dekat. Erick mengacak rambutnya yang mulai memanjang. Lalu menyibakkannya kebelakang. Aku dapat melihat telinganya yang ditindik. Erick merogoh saku jaket kulit berwarna hitamnya. Mengeluarkan sebungkus rokok mentol dan mengambilnya sebatang.

The Haunted Hotel of La ChandelierTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang