Aku tidak membencimu. Sungguh, jika iya. Bagaimana mungkin aku menulis cerita tentangmu seperti ini? Percayalah.
Aku tidak berharap kamu akan membacanya suatu saat nanti. Yang jelas, ijinkan aku sedikit berbagi tentang bagaimana cara kamu membahagiakan aku. Dulu
Raina Adzkannisa, oktober 2019
Dear you..
Apakah kita akan memilih saling melupakan?
Atau.. Mengenang semua hal yang menyakitkan itu?
Dulu kita masih remaja, benar bukan?
Harusnya kamu ingat..
Aku lelah bertanya, tentang bagaimana cerita ini akan berakhir.
Apakah akan sesuai dengan anganku atau tidak.
Tapi aku yakin membahagiakan. Tapi juga entahlah. Aku hanya yakin
Apa ada hal yang mungkin ingin kamu sampaikan ketika mungkin saja beretemu denganku lagi suatu saat nanti?
Mungkin beberapa hari lagi, atau beberapa minggu lagi, mungkin juga beberapa bulan lagi., atau bahkan beberapa tahun lagi?
Atau parahnya lagi kita tidak akan bertemu lagi.
Aku merindukanmu, tapi aku membencimu, seimbang bukan?
Haruskah aku menganggapmu barang mati seperti ini?
Apakah kamu akan kembali? Ku harap tidak.
Aku tidak ingin memendam perih lagi***
Ruang tunggu rumah sakit itu tampak ramai, seperti pasar. Banyak orang yang berlalu lalang, sekedar duduk, berjalan, berbincang, serta anak kecil yang berlari-larian di lorong-lorong rumah sakit. Tidak ada yang menegur. Sesekali anak itu terjatuh, berdiri lagi, terjatuh lagi, lalu berlari lagi.
"Lo liat apa Ra"
"Apa?" Raina melihat wajah Lilian dengan penuh tanya.
"Bisa nggak sih lo nggak balik tanya kalau gue lagi nanya?" wajah kesalnya berhasil membuat Raina tertawa.
"Jadi sekarang lo ngetawain apa lagi Ra? Barusan gue liat lo senyum-senyum sendiri. Sekarang apa lagi?"
"Nggak ada Lian. Lo cuma bikin perut gue geli tau gak"
"Lo laper?"
"Enggak. Tapi wajah lo, lubang idung lo itu nggak kontrol kalau lagi marah"
"Berhentilah bergurau dan jawab pertanyaan gue Ra, gue peringatin!" Lilian menambahkan penekanan pada kata terakhirnya.
"Gue nggak ngerti apa yang lo bilang Lian. Emangnya lo tadi nanya apa?"
Lilian menghembuskan nafasnya. Tanda wanita itu telah menyerah dengan kepolosan sahabatnya itu.
"Lupakan, nama gue dipanggil. Gue pergi dulu, tunggu disini sebentar dan jangan senyum-senyum sendiri. Lo bisa dikira gila sama orang-orang disini. Lo nggak mau kan dianggap calon dokter yang gila?"