"Ra"
"Rain"
"RAINA ASTAGA"
"Hah? Apa?"
"Ini udah yang kelima kalinya elo ngelamun. Kenapa sih?"
"Nggak apa-apa Lian"
"Nggak apa-apanya elo itu pasti ada apa-apanya"
"Nggak jelas banget kamu ngomongnya"
"Eh.. Kamu?"
"Elo maksud gue" kata Raina datar
"Alfian kan?"
"Lian. Bisa diem nggak, ini kita lagi di UKS"
"Yang bikin gue terjebak disini juga elo Ra. Kalau aja nggak karena liat muka pucet lo tadi juga gue nggak bakalan kesini"
"Jadi nggak ikhlas nemenin?"
"Astaga nggak gitu, sensi amat sih lo. Maksud gue itu, ah lupain" kata Lilian membuang muka
3 hari yang lalu. Tepat setelah Raina mendengar tentang peristiwa tawuran yang dialami Alfian, Raina tidak lagi melihat laki-laki itu. Entah apa yang ia lakukan beberapa hari ini. Pun ia tidak sama sekali bertanya. Alfian juga tidak kunjung memberinya kabar.
Dan disinilah Raina sekarang. Bersama sahabatnya, Lilian yang selalu berisik. Padahal jelas mereka sedang di ruang UKS. Ruang yang seharusnya tenang, agar siswa yang sakit bisa beristirahat. Raina sedikit menyesal mengajak Lilian menemaninya. Tapi jika pun ia mengajak Tania, yang terjadi pastilah sama. Tania tidak akan bisa diam. Setidaknya, Lilian yang mengertinya saat ini. Raina hanya belum tau jika kelak, Lilian adalah orang yang selalu mengerti bagaimanapun keadaannya.
Suasana UKS hari ini tampak begitu lengang, selain suara Lilian tentunya. Hanya ada mereka berdua di tempat ini. Raina dan Lilian jelas saja mudah mendapatkan kunci ruang UKS ini. Karena mereka berdua adalah anggota PMR di sekolahnya. Lilian yang paling bersemangat untuk hal itu awalnya, dan berhasil membujuk Raina agar ikut bergabung. Raina hanya menurut saja. Toh ia memang tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler lainnya.
Raina mencoba memejamkan matanya. Entah sudah yang keberapa kalinya. Ia memang tidak sakit, namun entah apa yang membawanya kemari. Ke tempat ini, tempat yang sering Alfian kunjungi ketika ia mengantuk. Raina tau, Alfian pernah bercerita.
3 menit setelah Raina berhasil memejamkan matanya, ia kembali terbangun karena mendengar suara decitan pintu yang dibuka. Samar-samar ia mendengar derap langkah kaki di ruangan sebelahnya. Raina memutar tubuhnya, rupanya bukan Lilian. Gadis itu sudah terkapar di ranjang sebelahnya saat ini. Lihat saja, siapa gadis yang sempat mengomel tadi karena diajak ke tempat ini. Sekarang justru dialah yang terlelap. Seharusnya Raina yang sudah terlelap sekarang.
Raina mencoba memejamkan matanya lagi. Tidak perlu dipikirkan siapa yang datang. Tentu banyak siswa yang akan mencuri waktu datang ke tempat ini. Entah karena benar-benar sakit, atau hanya karena ingin tidur saja.
Hampir saja matanya benar-benar menutup, sayup-sayup ia mendengar seseorang yang sedang berbicara sendiri. Sedang menelpon sepertinya
"Bawel lo Yan, udah kaya emak-emak tau nggak"
"Iya ntar gue sampein ke Raina, takut banget gue tikung sih lo. Orang ganteng emang gini banget ya. Banyak yang..."
"Ra?" kata Dimas kaget
"Lagi sama Raina lo ya Dim?" tanya orang di sebrang sana
"Kagak, ini sama Razak. Udah dulu Yan"
"Jangan boong lo. Sejak kapan lo manggil Razak 'Ra', biasanya juga Jaka lo manggilnya"
"Bawel lo" kata Dimas yang kemudian mematikan sambungannya dengan seseorang itu