BAB 4 - Alfian Mahesa

421 53 5
                                    

Baru lima menit Alfian memejamkan matanya. Seragamnya masih utuh, hanya sepatu dan tasnya saja yang sudah terlepas. Tidur lagi saja pikirnya.
Kedua matanya sudah terpejam lagi.

"Mau tidur berapa tahun lagi Yan?" suara itu berasal dari arah pintu kamar tidur Alfian, sedikit membentak, dia Nova. Kakak perempuannya.

"Baru juga lima menit mbak, jangan gangguin remaja puber lg bikin mimpi deh"

"Apanya yang lima menit, kamu udah tidur  4 jam. Dan kurasa masa pubermu udah habis"

Alfian membuka matanya, ia menatap jendela di kamarnya, sudah gelap rupanya. Rasanya baru lima menit ia tertidur.
Sepertinya baru hari ini Alfian benar-benar bisa merasakan nyaman saat tidur siang.

Ia bergegas pergi dari kamarnya, berniat untuk mandi. Setelah merasa dirinya cukup bersih, Alfian mengakhiri acara bermain airnya. Sepuluh menit rasanya sudah dari cukup untuk membasahi tubuhnya. Memang dasarnya lelaki ya seperti itu.

Alfian berjalan gontai menuju kamarnya, ingin tidur lagi "Makan dulu Yan" teriak mamanya dari ruang makan.
Alfian memutar tubuhnya menuju ruang makan, lagipula cacing-cacing diperutnya sudah meminta di beri makan dari tadi.

"Gimana tadi sekolahnya Yan?" mamanya bertanya

"Nggak usah ditanyain ma, Alfian sekolah kan cuma buat formalitas biar nggak dikira bego" kakaknya yang menjawab

"Apaan sih mbak, mending sana pulang kerumah suami, ngapain disini. Menuh-menuhin rumah aja" jawab Alfian asal

"Seenggaknya punya pendamping, ada yang nemenin" jawab Nova.

"Ya sama" jawab Alfian singkat.

"Memangnya punya pacar?" sekarang mamanya yang bertanya

"Punya, lima malahan" jawab Alfian santai sembari menghabiskan nasi dipiringnya.
Jawaban yang selalu Alfian berikan ketika mereka bertanya tentang pacar Alfian, agar ia tidak ditanya lebih banyak lagi tentang yang namanya pacar. Pacar apa, punya saja tidak.
Ya meskipun dekat sana dekat sini yang penting bukan pacar. Batinnya.

Nova dan mamanya hanya melotot ke arah Alfian, kedua wanita ini memang selalu kompak ketika menghadapi Alfian.
Sedang Alfian hanya terkekeh kemudian pergi meninggalkan piring kotor dan kedua wanita yang ia sayangi itu.

Alfian berjalan menuju kamar tercintanya, tidak ada yang ingin ia lakukan saat ini. Hanya ingin tidur dan melupakan Raina malam ini. Wanita itu benar-benar membuat Alfian sering melamun hari ini. Lupakan, memangnya dia siapa. Batin Alfian.
Alfian memejamkan matanya, berusaha untuk tidur, berusaha menghilangkan bayang-bayang Raina lebih tepatnya.

**

Alfian membuka matanya lebar-lebar, sudah pagi rupanya. Semalam Alfian berhasil memejamkan matanya tengah malam. Sialan, makinya dalam hati. Ia bergegas menuju kamar mandi, seperti biasa, sepuluh menit rasanya sudah sangat cukup untuk bermain air. Setelah memakai seragamnya, ia bersiap memulai aktivitas yang sangat membosankan baginya, yang biasa disebut dengan sekolah, sibuk dengan buku, mendengarkan penjelasan guru yang kadang terdengar seperti sedang mendongeng, mengerjakan soal, dan berhadapan dengan materi yang tidak dipahami Alfian sedikitpun.

Setelah bersiap-siap, Alfian menyambar kunci motor di meja belajarnya, meja yang tentunya jarang sekali ia gunakan untuk belajar. Untuk formalitas saja katanya. Alfian selalu meninggalkan sarapan paginya. Bagaimana tidak, Alfian selalu saja datang terlambat disekolah. Bisa berangkat pagi merupakan keajaiban dunia bagi Alfian.

Alfian memanaskan motornya selama beberapa menit kemudian bergegas pergi, jarak rumahnya dari sekolah hanya membutuhkan waktu kurang dari 10 menit. Dekat bukan? Apalagi bagi Alfian yang senang mengendarai motor dengan kecepatan tinggi.

Rain-a.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang