BAB 21 - Menjauh

313 46 0
                                    

Raina masih terus menangis. Air matanya tak kujung mereda. 15 menit yang lalu, Galang membawanya kemari, ke taman kota. Taman yang pernah ia kunjungi bersama Alfian, Galang mengajaknya duduk di salah satu bangku taman itu.

Galang juga terus diam. Tak kunjung bertanya, bahkan mungkin ia tidak akan pernah bertanya. Ia menatap perempuan di depannya itu dengan tatapan pilu. Ia tidak bisa memungkiri jika sebagian dari dirinya terasa remuk melihat perempuan itu menangis.

Raina terdiam sesaat, kemudian kembali menjatuhkan air matanya. Perempuan itu terus seperti itu sejak 15 menit yang lalu. Ia menangis dalam diam, terus menangis, bahkan angin ikut menangis bersamanya.

Galang yang sejak tadi duduk di sebelahnya hanya mampu menatapnya. Sesekali mengusap punggung perempuan itu. Tidak ada pertanyaan seperti kenapa atau kamu baik-baik saja? Galang jelas tau bahwa perempuan di sampingnya itu sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Sehingga ia memilih untuk sama-sama terdiam. Menunggu perempuan itu berbicara.

Keduanya sama-sama terdiam. Tidak ada yang saling bicara setelah Galang bertanya apakah Raina ingin pulang atau tidak, dan perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya. Perempuan itu hanya terus menunduk. Sedangkan Galang duduk menyender di bangku taman, kepalanya mendongak ke atas, sesekali ia menghembuskan nafasnya dengan kasar. Hingga 3 menit kemudian, Galang dan Raina mendengar suara motor yang berhenti tepat di sebelah kanan Galang.

Galang menengokkan kepalanya, begitu juga Raina. Keduanya sama-sama terkejut melihat kedatangan Alfian, mata laki-laki itu sarat akan kemarahan. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal. Galang menyadari itu, hingga sepersekian detik kemudian, Alfian berhasil menjatuhkan Galang dari kursinya. Raina terlonjak kaget dari kursi yang ia duduki tadinya.

Alfian terus saja memukul Galang di bawahnya. Galang tidak tinggal diam. Mereka berdua sama seimbangnya, mengingat keduanya sama-sama memiliki predikat terbaik dalam bidang bela diri.

Raina semakin menderaskan air matanya melihat Alfian. Ia belum pernah melihat Alfian dengan aura yang sangat menyeramkan seperti sekarang ini. Alfian terus memukul Galang, begitu juga dengan Galang yang terus membalas serangan Alfian.

Raina berlari, berusaha mendekati Alfian dan Galang yang masih terus beradu pukul. Bahkan mereka tidak menghiraukan teriakan orang-orang yang berseru kepada mereka untuk berhenti. Namun Galang dan Alfian tetap tidak memperdulikannya. Hingga teriakan Raina mampu menghentikan pukulan Alfian.

"Cukup!" teriak Raina dengan terisak. Air matanya tak kunjung mereda.

Namun pukulan itu hanya berhenti sesaat, kemudian Alfian kembali memukul Galang.
"Jangan berani-beraninya elo nyakitin Raina brengsek" teriak Alfian frustasi, bersamaan dengan tinjuannya pada Galang.

Galang tidak tinggal diam, ia kembali membalas serangan Alfian hingga Alfian tersungkur di tanah.
"Elo yang brengsek! Elo yang nyakitin Raina. Lo pikir siapa yang bikin Raina nangis kalau bukan elo bangsat!" teriak Galang tidak kalah frustasi.

Alfian terdiam, ia menerima setiap pukulan yang Galang berikan secara bertubi-tubi. Entah kenapa perkataan Galang mampu membuatnya membatu. Ia bahkan tidak membalas pukulan Galang. Hingga akhirnya Raina datang dan menarik Galang yang tengah menindih tubuh Alfian.

Alfian menatap Raina yang menangis tersedu-sedu di dekapan Galang. Alfian terdiam menatap Galang yang terus berusaha menenangkan Raina. Seharusnya ia yang berada dalam posisi Galang sekarang ini, mendekap Raina dalam pelukannya. Menenangkan perempuan itu hingga ia berhenti menangis.

Hingga beberapa menit kemudian, Galang melepaskan dekapannya. Membiarkan Raina melepaskan diri. Perempuan itu masih menangis, ia berjalan ke arah Alfian yang menatapnya sendu. Alfian terlihat lebih berantakan dari pada saat Raina mengobatinya dulu, ketika Alfian di keroyok di depan warung kopi bi Uti.

Rain-a.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang