Perempuan itu masih tetap berada di posisinya sejak 30 menit yang lalu. Sedangkan sahabatnya -Lilian, sudah entah yang keberapa kalinya membawa buku-buku yang berbeda di mejanya itu. Perempuan itu hanya sesekali melirikan matanya ke arah Lilian yang masih saja sibuk memilah novel-novel remaja di hadapannya.
Tidak ada yang berbicara sama sekali, yang terdengar hanya suara gesekan kertas dari buku-buku yang Lilian bawa, entah akan segera ia baca atau tidak. Belum sempat Raina menghembuskan nafasnya, perempuan di depannya itu sudah terlebih dahulu mendahuluinya. Rupanya perempuan itu sama-sama tengah menahan nafasnya.
Langit memang semakin sering menumpahkan kesedihannya beberapa hari ini. Mungkin tepat satu minggu ini Bandung belum melihat matahari lagi, langit senang sekali menyembunyikannya. Sama seperti Raina, senang sekali menyembunyikan lukanya. Sudah 4 hari jika ia tidak salah menghitung, Alfian tidak kunjung datang menemuinya. Barang sekali pun.
"Jadi?"
Perempuan itu mendongakan kepalanya, menatap Lilian yang tiba-tiba bertanya. Entah itu akan berakhir pada pertanyaan atau akan menyudutkan Raina.
Perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya tidak tau. 1 jam yang lalu, Lilian datang kerumahnya, apa lagi jika bukan mengajaknya ke perpustakaan di taman kota. Tempat peristirahatan otak terbaik bagi Lilian, perempuan satu itu memang aneh, ia senang sekali membaca, namun tidak dengan buku pelajaran. Satu pun, tidak.
Sedangkan Raina hanya menurut saja. Terlebih ia memang sedang butuh hiburan sekarang. Beberapa hari ini terasa begitu berat untuknya. Entah apa yang membuatnya merasa begitu kesepian, sedangkan ia memiliki sahabat dan keluarga yang selalu menemaninya setiap saat. Entah lah, perempuan itu hanya merasa sebagian dari dirinya hilang.
"Oke. Cukup" Lilian menutup buku terakhirnya, sembari membenarkan letak kacamatanya yang hampir melorot. Perempuan itu menatap Raina dengan tatapan yang sulit untuk di baca.
"Denger ya my friend, gue itu ngajakin lo kesini bukan buat liatin lo diem, liatin ujan dari balik kaca ini perpus. Bukan juga buat liat lo cuma bengong nggak berfaedah kaya gini"
"Hmmm" Raina hanya berdehem, kemudian kembali menyesap coklat panas yang sempat ia pesan tadi, sembari menatap jalanan yang kembali di guyur hujan. Kebetulan mereka mendapat tempat duduk yang cukup nyaman, tepat di samping kanan kedua perempuan itu duduk, terdapat kaca besar yang langsung menghadap ke arah jalanan kota Bandung.
"Ra! Listen to me"
Perempuan itu memutar kepalanya, menghadap tepat ke arah Lilian yang baru saja sedikit menaikan nada suaranya "Ini dengerin"
"Gue nggak ngerti deh, lo itu kenapa sih? Gara-gara kakak kelas nggak jelas itu? Siapa? Alfian? Itu? Gara-gara itu?"
"Nggak"
"Jadi apa? Nggak usah bohong deh lo. Gue yakin gara-gara dia kan. Belakangan gue sering liat lo ngelamun nggak jelas, terus sekarang lebih seneng sendiri, belum lag.."
"Berisik ah" potong Raina tiba-tiba. Perempuan itu kembali memalingkan wajahnya, ia tidak menghiraukan Lilian yang masih saja berbicara. Entah apa yang sedang Lilian ucapkan, Raina tidak lagi mendengarnya. Bukan karena tidak peduli, perempuan itu tengah memikirkan tentang Alfian. Sedang apa kamu Alfian.
***
"Shit"
"Bego lo, siniin gue aja yang main"
"Yan makanan lo abis ya?"
Alfian hanya menutup wajahnya dengan bantal, laki-laki itu tidak menghiraukan kegaduhan apa yang tengah di perbuat oleh ketiga sahabatnya. Damar dan Dimas yang tengah bermain PS, atau Alvin yang sedang kalang kabut mencari-cari makanan. Laki-laki itu hanya sesekali mendengarkan keributan yang mereka perbuat, kemudian kembali hanyut dalam pikirannya sendiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/83483856-288-k118486.jpg)