BAB 15 - Mama Alfian

305 47 0
                                    

Alfian memasukan motornya di halaman depan warung bi Uti. Aroma tanah yang khas menyeruak kedalam rongga penciumannya. Pertanda hujan baru saja selesai menyapa. Hujan tadi sore cukup deras, menyebabkan genangan air berada dimana-mana.

Angin berhembus pelan, seolah menyambut kedatangannya. Deru motornya sudah berhenti satu menit yang lalu. Tidak ada tanda-tanda bi Uti akan keluar. Sedang shalat isya mungkin.

Alfian terduduk sendiri, bersama cahaya remang lampu bohlam. Sudut bibirnya masih terasa perih, bukti dari hasil perkelahiannya tadi siang. Tidak ada luka serius. Orang-orang itu beruntung, termasuk dirinya. Polisi datang 10 menit setelah mereka meninggalkan tempat itu. Jika saja ia terlambat 8 menit saja, mungkin papanya tidak akan membiarkannya tidur di rumah.

Alfian mendongakan kepalanya, ia memejamkan matanya beberapa menit, sebelum tersadarkan oleh seseorang yang duduk di sampingnya.

"Bi" tegurnya saat membuka mata

"Belum pulang ya mas? Masih pakai seragam"

"Belum bi, ini tumben sepi"

"Iya ,kan habis hujan"

"Saya temenin deh"

"Iya. Eh mas, tadi ada yang nyariin mas Alfian"

"Siapa?"

"Geulis pisan anaknya"

"Perempuan ya?"

"Ya iya atuh mas"

"Ha ha ha, siapa bi?"

"Namanya Raina kalau nggak salah"

"Tadi siang?"

"Iya, tadi pulang sekolah langsung kesini. Disini lama, mau nunggu mas Alfian katanya, akhirnya nemenin bibi ngobrol, sampai jam 5"

"Jam 5 bi? Hujan kan tadi?"

"Iya hujan, bibi juga kepikiran neng Raina kehujanan tadi"

Alfian hanya diam. Ia mendongakkan kepalanya lagi, ia menghembuskan nafasnya dengan kasar. Entah apa yang sedang mengganggu pikirannya saat ini, ia sendiri tidak tau. Apa Raina baik-baik saja?

"Mau kopi nggak mas?"

"Boleh bi"

Alfian mendongakkan kepalanya lagi, kemudian menghembuskan nafasnya dengan kasar lagi, entah sudah yang keberapa kalinya ia melakukannya. Pandangannya kosong, 3 menit yang lalu ia sudah akan pergi dari tempat ini, berniat untuk mendatangi Raina. Namun dengan kondisinya yang seperti ini, rasanya tidak mungkin. Yang ada dia akan di usir duluan.

Kopi yang di buatkan bi Uti sudah hampir dingin, namun Alfian belum menyentuhnya sama sekali. Ia tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan saat ini. Ini bukan tentang masalah tawurannya siang tadi. Bukan juga tentang hujan sore ini, bukan juga tentang kopi bi Uti yang sudah mendingin.

Angin berhembus semakin kencang, menerbangkan sisa-sisa hujan yang bersemayam di atas helaian daun-daun. Gemercik airnya menerpa wajahnya, seolah membangunkannya dari mimpinya. Bukan, Alfian tidak bisa bangun. Ini bukan mimpi

Alfian mendengar sayup-sayup deru motor dari ujung jalan, di susul deru motor yang lain. Baru ia akan berdiri, 2 motor yang sama dengan motornya sudah memasuki halaman warung milik bi Uti

"Sendiri aja lo" teriak Dimas yang masih berada di atas motornya

"Menurut lo aja deh" jawabnya kesal

"Kenapa sih lo, kopi sampe dingin gitu, nggak enak?" tanya Damar yang kini sudah duduk di sebelah Alfian.

"Belum balik ya lo?" tanya Alvin

Rain-a.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang