Ibu bilang, aku harus menjadi anak yang baik.
Ibu bilang, aku harus menjadi anak yang baik karena aku adalah anak terakhir dari keluarga Oh.
Ibu selalu memastikan aku tak kekurangan sesuatu. Meskipun sudah kelas tiga SMA, Ibu bahkan masih mengantar jemputku.
"Cepat habiskan makanmu, Oh Sehun!" aku tersenyum menatap wajah Ibu. Tampilan anggun khas orang berada selalu melekat padanya.
Aku mengangguk sekilas lalu menyuapkan sarapan yang Ibu siapkan tadi.
Aku harus menjadi anak penurut karena aku anak terakhir.
Ibu bilang, aku harus berhati-hati dalam memilih teman.
Dalam pergaulan, aku menutup diri karena mereka selalu mengejekku big baby karena Ibuku yang masih menganggapku anak-anak. Aku hanya tersenyum remeh melihat itu sebenarnya, aku bahkan menganggap mereka iri karena mungkin Ibu mereka tak seperti ibuku.
Aku adalah anak kesayangan Ibu. Pasti mereka iri kan?
"Oh Sehun!"
Aku menoleh pada pintu kelas. Disana, Tiffany Hwang, satu-satunya teman yang disetujui ibuku untuk bergaul denganku. Dan juga, ialah satu-satunya orang yang kusukai selain ibuku.
Gadis itu mendekat dengan mengatur napasnya. Aku bahkan bisa mencium aroma apel dari shampo yang ia gunakan.
"Sudah makan siang?" aku hanya menggeleng sedangkan Tiffany menghembuskan napas kasar.
"Lihatlah! Kau selalu seperti itu," Tiffany kemudian menghampiriku lalu membuka tas miliknya sendiri dan mengeluarkan kotak makan siangnya. Aku tersenyum melihatnya, inilah yang kusuka darinya. Sifat perduli yang tak bisa dimiliki oleh orang lain selain ibuku selalu melekat padanya.
Tiffany membuka bekalnya dan dua potong sandwich juga beberapa potong sosis goreng memenuhi kotak makan siangnya. Kutelan salivaku demi menahan hasrat untuk segera memakannya hingga gadis di depanku ini menautkan tangannya di depan dada.
"Kau tau apa yang harus dilakukan sebelum makan Oh Sehun?" aku mengangguk sebelum ikut menautkan tangan di depan dada.
Kami berdoa dengan khidmat sebelum membuka mata. Tiffany tersenyum lalu mengambil sepotong sandwich dan menyerahkan sisanya untukku.
"Makanlah," aku mengangguk bak anak kecil sebelum mengambil sosis gorengnya. Hingga usapan tangan Tiffany di kepalaku sukses membuatku menoleh padanya.
"Makan yang banyak Oh Sehun, jangan makan makanan kantin, itu tak baik bagi kesehatanmu, mengerti?"
Aku mengangguk mengerti lalu melanjutkan makan siangku.
Tiffany Hwang, aku tak salah memilihnya sebagai temanku kan?
Ibu bilang, aku tak perlu memikirkan masalah percintaan. Karena semua orang mencintaiku!
Apapun yang dikatakan ibuku, selalu kuterima dengan baik.
Apapun yang dikatakan ibuku, selalu kulakukan dengan baik.
Apapun yang dikatakan ibuku, selalu kupercayai sepenuh hati.
Tapi entah mengapa, kalimat ibuku tentang semua orang mencintaiku mulai kuragukan kebenarannya.
Ini terjadi pada hari ini. Ketika dengan beraninya aku menyatakan perasaanku pada Tiffany, dan gadis itu menolak halus dengan mengatakan kau hanya kuanggap sebagai teman.
Kau tau bagaimana rasanya ditolak oleh orang yang kau cintai? Bahkan ia hanya menganggapmu sebagai teman? Aku memang tak menangis, karena ibu bilang, pria pantang menangis! Tapi entah kenapa, rasa sesak di dadaku begitu tak nyaman. Benar-benar memuakkan memiliki rasa ini.
Apakah ada yang salah denganku? Apakah kalimat ibu hanya sebuah kebohongan? Bukankah semua orang mencintaiku? Atau memang benar ibu hanya berbohong padaku?
Kulangkahkan kakiku menjauh dari taman tempat penolakan dari Tiffany dan dengan cepat meninggalkannya menuju jalanan terdekat. Hingga aku berhenti tiba-tiba ketika mengingat perkataan ibu. Ahh ... Aku melupakan hal itu!
Kakiku dengan lemah kuseret menuju halaman rumah. Badanku sangat lemah dan kuyakini wajahku begitu pucat kali ini.
Hingga kubuka pintu depan rumah dan memasukinya lalu menuju ruang tengah. Disana, ibu dengan tenangnya tengah menyeruput teh kesukaannya. Hingga suara parauku menggema ke seluruh ruangan.
"Ibu...."
Ibu menjatuhkan cangkir tehnya demi melihatku. Matanya membelalak terkejut.
"A ... Apa yang terjadi Oh Sehun?!"
Aku lalu menjatuhkan plastik hitam yang sedari tadi kubawa, beserta pisau yang berada di saku jaketku. Aku mendekat namun ibu mulai menjauh.
"Apa i...itu?" ujarnya sambil menunjuk kantong plastik yang kubawa.
Aku tersenyum sebelum menjawabnya.
"Itu .... Hati Tiffany!"
Kulihat raut wajah ibu yang terkejut ketika mendengarnya. Kubungkukkan tubuhku lalu membuka kantong plastiknya, daging berwarna merah tua itu ku tekan-tekan sembarang. Darah yang mulai mengering di tanganku kembali basah ketika menyentuhnya.
Kulihat ibu jatuh terduduk di sofanya dengan raut muka yang tak berubah sedari tadi,—terkejut.
Sedangkan aku hanya menyeringai melihat itu.
Ibu bilang, keadilan adalah segalanya. Jika mata diganti dengan mata, maka nyawa juga diganti dengan nyawa.
Ohh, salahkan saja Tiffany yang menolak pernyataan cintaku hingga membuat hati ini sesak dan terasa mati. Maka dari itu, ia harus menanggungnya juga. Merasakan hatinya mati adalah keadilan yang setimpal bagiku.
Bukankah aku baik? Apapun yang dikatakan ibu selalu kulakukan. Aku menuruti semuanya! aku anak baik kan?
FIN
Iya tau ini plot kecepetan, ceritanya ga berfaedah pula -,- tapi yaudah lah ya 😂🔫
Anggap aja OhSe agak2 psycho gitu, jadi ya.... Gitu lah kalo kemauannya gk diturutin 😅
Ini cerita special banget buat anak2 BEM yg ngospek kemarin 😅 anggap aja gw OhSe dan anak2 BEM itu Tiff, jadi intinya gw pengen banget bunuh anak2 BEM 😂😂 /kidding/
Tapi thanks banget buat ospek kemarin, berkat kalian jiwa psycho gw mulai muncul ke permukaan walaupun gk banyak/?
Dan ini harapan gw sebagai maba fakultas Bahasa dan Sastra prodi Sastra Inggris 😅😅 pleaseee jangan sampe kalian anak2 BEM ada yg punya akun wattpad dan nemuin ini akun 😅 gw punya firasat semenjek ospek jadi inceran salah satu senior cewe sana soalnya /kepedean/ 😂🔫🔫
Tapi jujur, makasih buat anak2 BEM yg bikin kenangan indah /hadeh/ selama 4 hari itu 😘😘 apalagi waktu kalian akting sebelum api unggun, sumpah... Makasih banget udah bikin anak lain ngira itu beneran walaupun itu gk mempan bagi gw lol
Thanks BEM 😘
Love you Presma /ehh/ 😂🔫🔫🔫