Tiffany menghentakkan kakinya ke lantai airport dengan kesal semenjak dua puluh menit yang lalu. Papan nama yang sedari tadi ia bawa menggantung dengan indah di lehernya. Menandakan ia terlalu lelah untuk mengangkatnya.
Lalu, lima menit setelahnya, pemuda tinggi dengan coat coklat datang menghampirinya dengan tergesa-gesa. Pemuda itu dengan segera mengambil papan nama yang dibawa Tiffany dan membaliknya.
"Kau gila Tiff!"
Tiffany tersenyum mendengarnya. Tulisan 'Si Brengsek Chanyeol' benar-benar ampuh membuat pemuda itu dengan cepat menghampirinya.
"Setidaknya dengan begitu kau bisa dengan cepat menemukanku!"
"Ta—
"Sudah cepat, aku mengantuk!"
Park Chanyeol lalu menghela napasnya dan mengikuti Tiffany yang mulai meninggalkannya.
...
"Ah...leganya," Tiffany pada akhirnya dapat mengistirahatkan bokong indahnya pada kursi penumpang. Sedangkan Chanyeol, pemuda itu lebih memilih mengamati keadaan luar melalui jendela sampingnya. Dua tahun tak menghirup udara Seoul membuatnya seperti orang baru. Banyak yang berubah dari tempat lahirnya ini.
Pemuda itu lalu mengalihkan atensinya pada wanita di sebelahnya. Dengan mata tertutup, napas teratur itu mengalun indah memenuhi taksi yang mereka tumpangi.
Tangan besar Chanyeol terangkat dan mengelus pelan surai coklat milik Tiffany. Nyatanya, setelah dua tahun meninggalkan Korea, ia masih belum bisa benar-benar mengubur perasaan padanya.
Park Chanyeol tersenyum miris mengingat kenyataan yang terjadi. Seandainya saja ia bisa lebih berani mengungkapkan perasaannya. Seandainya saja ia bisa sedikit lebih egois. Seandainya saja ia tak merelakan Tiffany untuk berkencan dengan Kim Jongin, mungkin detik ini, ia bisa dengan bangga mengatakan pada dunia bahwa ia beruntung memiliki kekasih seperti Tiffany.
Yah seandainya. Karna pada faktanya, Park Chanyeol hanya bisa menjadi pecundang di masa lalu dan menyesal di masa sekarang.
Taksi itu berhenti tepat setelah Chanyeol membenahi rambut berantakan milik Tiffany. Wanita itu membuka mata dan menguap sebentar.
"Sudah sampai?" Park Chanyeol mengangguk lalu segera keluar dan membuka bagasi. Mengambil beberapa koper serta tas ranselnya. Sedangkan Tiffany, wanita itu tanpa memperdulikan Chanyeol dengan segera menaiki tangga flatnya.
Dengan mengusap keringat di dahinya, Park Chanyeol akhirnya berhasil menuju flat Tiffany yang berada di lantai dua. Dibukanya pintu kayu itu dan menemukan Kim Jongin dengan celemek biru serta spatula di tangan kanannya tengah menunggunya di ruang tengah—ohh, jangan lupakan juga cengiran lebar yang membuat Chanyeol bergidik ngeri.
"Selamat datang kawanku sayang," Kim Jongin maju dengan melebarkan tangannya, hendak memeluk Chanyeol.
"Kau menjijikkan Jong!" Chanyeol melewati Jongin begitu saja dan segera duduk di sofa depan televisi, meninggalkan Jongin yang masih tersenyum lebar dengan spatulanya.
"KIM FREAKING JONGIN APA YANG KAU LAKUKAN DENGAN DAPURKU?!" teriakan Tiffany itu sukses membuat Jongin berlari dari sana. Raut wajahnya melembut lantas menatap wanita itu.
"Aku sedang memasak Sayang," Chanyeol memutar matanya malas lalu membuka kaleng soda yang ada di atas meja. Sedikit terganggu dengan panggilan Jongin barusan.
"BERSIHKAN ATAU TIDAK ADA MAKAN MALAM!" Jongin hanya bisa mengangguk perlahan. Salah satu kehebatan Tiffany yang perlu diketahui, wanita itu bisa menjadikan pembuat onar macam Jongin menurut bak anak anjing.
Park Chanyeol merebahkan tubuhnya pada sofa. Jet lag mulai melandanya. Dan ia hanya ingin tertidur saja kali ini.
"Bangun kau brengsek!" pukulan halus pada pipinya membuat Chanyeol tersadar. Dilihatnya Tiffany yang sudah mengganti pakaiannya dengan kaos casual dan menguncir rambutnya. Gaya favorit Chanyeol.
"Aku punya nama Tiff!" wanita itu mendesah perlahan mendengarnya.
"Baiklah, Park Chanyeol brengsek cepatlah kau bangun!" Chanyeol mengusap wajahnya, wanita ini benar-benar!
Jongin serta Tiffany telah duduk di kursi dapur. Di hadapan mereka telah terhidang berbagai makanan yang begitu menggugah selera.
Park Chanyeol turut duduk bersama ketika Tiffany menghidangkan sup pembuka.
"Ini enak, siapa yang memasak?" Chanyeol memberikan pendapat kala mencicipi kuah supnya.
"Aku yang memasak, seharusnya kau berterima kasih padaku Chan. Terutama pada 'adik kecil'ku."
Park Chanyeol tersenyum, paham akan maksudnya. Kakinya di bawah meja lantas ia angkat dan menendang selangkangan Jongin.
"Terima kasih 'adik kecil'!"
"Kau sialan!" rutuk Jongin sembari mengelus bagian berharganya setelah mendapat tendangan dari Chanyeol barusan.
Mereka melanjutkan kegiatan makannya dalam keadaan damai.
"Kau beruntung Chan, karna aku tak menggunakan pengaman pada bulan lalu se—
"Mulutmu itu bermasalah Jong!" Tiffany menusukkan garpu pada selembar kimchi di hadapan Jongin. Sedangkan pria itu hanya tersenyum hangat lalu mengelus puncak kepala Tiffany.
"Bercanda sayang." Tiffany mendengus malas mendapat perlakuan seperti itu dari Jongin.
"Tak apa, lagi pula ini enak." Chanyeol menyuapkan isian sup pada mulutnya.
Sedangkan Jongin tersenyum manis menatap Chanyeol.
"Kau benar kawanku sayang," Chanyeol menatap Jongin tajam kala mendengar itu. Kenapa ucapan pria di hadapannya ini jadi begitu menggelikan?
Chanyeol meminum airnya lantas berujar.
"Menggugurkan kandungan dan menjadikannya hidangan seperti ini kurasa tak terlalu buruk. Selagi masih bisa menghemat pengeluaran, apa salahnya?"
"Tapi berhentilah kalian, berapa kali kau menggugurkan kandungan pada tahun ini? Empat? Lima? Ayolah, kau memakan anakmu sendiri!"
Jongin tersenyum remeh lalu menandaskan supnya.
"Siapa suruh mereka punya tekstur yang lembut dan terasa gurih? Aku kan jadi ketagihan!"
Park Chanyeol menggeleng lalu ikut menandaskan supnya. Lagi pula itu benar, selain lembut, rasanya juga gurih membuat siapa saja menyukainya.
Yah, meskipun ia tak bisa memiliki Tiffany, setidaknya Chanyeol ikut merasakan bagian dari wanita itu, janinnya.
FIN
Aku merasa kotor 😅
Aku kok kesannya jahat banget ya waktu bikin ini, sebenernya isi otakku itu apa sih -,-