Wait, let me say it.
Suasana kedai kopi siang itu cukup ramai. Kendati di mejanya saat ini hanyalah keheningan yang melanda. Dua machiato di hadapannya juga mulai dingin. Tak berkurang masanya sedikitpun.
Malam tadi, kekasihnya—Tiffany Hwang—menghubunginya dan mengajak bertemu. Hanya itu, tak ada kelanjutan perbincangan lagi diantara mereka setelahnya.
Dan Xi Luhan tahu, hubungannya tak bisa diselamatkan lagi.
Mereka merenggang. Tiffany tak memberikan alasan apapun. Meskipun begitu, Xi Luhan cukup pandai untuk mencari tahu apa yang terjadi pada gadisnya akhir-akhir ini.
Pemuda itu tersenyum miris. Ia telah kalah telak saat ini.
"Mau bicara apa?" bertanya lebih dulu adalah sifat pria. Bahkan mungkin sudah menjadi kodratnya.
"Eh? Eumm hehe..." Tiffany tertawa canggung lantas meminum machiatonya untuk pertama kali.
Mereka layaknya orang asing yang tak saling mengenal. Kendati faktanya, label sebagai sepasang kekasih telah mereka sandang selama satu setengah tahun belakangan ini.
"Boleh aku jujur?" kalimat pertama yang meluncur dari Tiffany hari ini. Luhan tersenyum lantas meneguk machiatonya.
"Apa?"
Raut wajah Tiffany terlihat gusar. Jemarinya melingkupi cangkir. Dan napasnya berubah lebih cepat.
"Kurasa, perasaan itu sudah hilang entah sejak kapan."
Ia menghirup udara sebentar lalu melanjutkan.
"Apa kau juga merasakan hal yang sama?"
Xi Luhan tertawa dalam hati. Nice try, Hwang.
Nyatanya, sudah lama Luhan tahu bahwa perasaan Tiffany tak pernah ada untuknya. Singkatnya, dari awal mereka berkencan hingga sekarang hubungannya berada diambang kehancuran, hati Tiffany tak pernah ia dapatkan.
Xi Luhan terdiam dan membuat Tiffany sedikit gugup.
"Lu, jawab aku!" Luhan menatap lekat manik Tiffany dan tersenyum hangat.
"Apa kau keberatan jika aku menjawab tidak?"
Kini berganti Tiffany yang terdiam. Ini tak sesuai rencananya. Ini bukan yang ia inginkan.
"Aku, aku tak bisa Lu. Aku hanya tak bisa," Tiffany menunduk. Kesalahan terletak pada dirinya juga. Jika sudah tahu begini, kenapa ia terima tawaran kencan Luhan dulu?
Luhan tersenyum. Kedua telapak tangannya ia kaitkan lalu menatap intens Tiffany yang masih menunduk.
Hatinya terluka. Dan ia benci kalimat lanjutan yang akan keluar dari bibir gadisnya.
Ohh, apakah Tiffany masih gadisnya? Ia tertawa miris mengingat itu.
"Lu, aku tak bisa. Kurasa ki—
"Tunggu!"
Luhan tak bisa. Luhan tak bisa mendengar itu dari Tiffany. Ia seorang pria. Jadi ia yang harus mengatakannya.
Meskipun ini akan melukai hatinya. Meskipun ini adalah kalimat yang mati-matian Luhan benci. Tapi ia harus mengatakannya. Sepahit apapun itu.
"Tunggu, biarkan aku yang mengatakannya."
Tiffany terdiam menunggu kalimat lanjutan dari Luhan. Sedangkan pemuda itu hanya bisa menghembuskan napasnya kasar.
Sekali lagi ia menghembuskan napasnya lalu menatap wajah Tiffany dengan tatapan terluka.
"Let's break up, Tiffany Hwang."
...
Kejadian satu jam yang lalu itu masih terekam jelas di benak Luhan. Menyisakan perasaan sesak yang tak menyenangkan di dadanya. Meminta untuk segera dikeluarkan.
Namun apa daya, penawar bagi hatinya hanyalah seorang Tiffany Hwang. Gadis yang telah lima belas menit yang lalu duduk di kursi taman dengan sebuah topi hitam di tangannya.
Gadis itu tersenyum senang, berbanding terbalik dengan suasana hati Luhan yang mengamatinya dari dalam mobil. Suasana hati yang terluka juga hancur.
Atensi Luhan seolah terampas penuh kala seorang pria dengan kepala yang ditumbuhi rambut jarang, juga seragam militer dan tas ransel yang ia bawa mendekati Tiffany.
Pria itu mengangkat tangan kanannya dan meletakkan di ujung pelipis. Memberikan hormat.
Dan Xi Luhan melihatnya. Tangis bahagia Tiffany tumpah seketika. Gadis itu ikut memberikan hormat pada pria di depannya lalu segera memeluknya.
Memeluknya erat dan menangis bahagia. Dua hal yang tak pernah Luhan dapatkan dulu.
Tiffany melepas pelukannya lalu menyingkirkan patrol cap yang pria itu kenakan dan menggantinya dengan topi hitam yang sedari tadi ia bawa. Seolah memberikan tanda bahwa pria di hadapannya ini tak akan lagi meninggalkannya untuk waktu yang lama.
Xi Luhan lantas mengalihkan pandangannya menuju arah jalanan lalu tertawa miris.
Ohh, salahnya sendiri kenapa mengajak kencan seorang gadis yang menunggu kekasihnya pulang dari kewajiban negara.
Seharusnya ia cukup tahu diri dengan perasaannya. Seorang Kim Suho bukanlah tandingannya. Dari segi manapun, pria bermarga Kim itu jauh lebih pantas bersanding dengan Tiffany.
Bukan seorang pengecut seperti Luhan. Yang memaksakan perasaannya kendati ia tahu bagaimana akhirnya.
FIN
Ini genrenya apa sih tolong -,- sad bukan, romance apalagi -_-
Luhan itu kalo jadi main cast di buku ini pasti gak pernah berakhir bahagia 😅 mianek beb 😂 /ehh tapi, di christmas gift agak bahagia sih endingnya XiLu -,-/