Sacrament

612 65 6
                                    

Bahkan ketika aku telah mengakuinya
Belum tentu aku telah melupakannya







Wanita dengan celemek biru itu mulai menata meja perlahan. Dua gelas susu dengan dua piring roti bakar seharusnya cukup untuk sarapan kali ini. Belum lagi dengan irisan apel dan kiwi yang ia sisihkan di kulkas, lebih dari cukup untuk sarapan dirinya dengan pria di depannya ini bukan?


"Seharusnya kemarin aku minta nasi saja agar kau tak membuat roti lagi!"


Wanita itu tertawa menanggapi.


"Kau sudah memilihnya sayang! Aku janji besok akan memasak nasi untukmu!" pria di depannya tersenyum lalu meminum susunya perlahan.


"Kupegang janjimu! Nasi dan sup, oke?" wanita itu hanya mengangguk mengiyakan.


Dua insan itu lalu menutup obrolan ringan dengan memakan sarapan. Tak ada yang kembali bersuara setelahnya, masing-masing hanya sibuk dengan piring di depannya. Hingga sang pria terlebih dahulu menuntaskan makannya.


"Aku pergi dulu!"


"Kau mau kemana?" sela sang wanita cepat. Dua bulan tinggal bersamanya, ini adalah kali pertama ia melihat pria di depannya ini pergi di pagi hari.


"Eumm, aku ingin ... Pergi ke gereja!" sang wanita sedikit menganga. Seingat dia, pria di depannya ini adalah anti gereja. Bahkan untuk acara keagamaan, ia hanya akan pergi ketika hari paskah dan natal!


"Kau yakin?"


"Memangnya ada yang salah jika aku pergi ke gereja?" wanita itu menggeleng.


"Bukan begitu, hanya saja sedikit aneh mendengar itu darimu. Bahkan terakhir aku melihatmu ke gereja adalah ketika hari pernikahan dua bulan yang lalu!" ia tersenyum mengejek lalu melanjutkan


"Tapi aku senang mendengarnya!" wanita itu dengan reflek memeluk pria di depannya.


"Sudah sana!" ia segera melepaskan pelukan dan sang pria bergegas pergi dari hadapannya. Hingga seruan sebelum ia keluar dari pintu membuatnya berhenti.


"Hey Lu!"


Ia membalikkan badan dan menemukan wanita itu dengan cengiran lebarnya.


"Titip belikan apel ya? Aku ingin membuat pie!"


Ia hanya mengangguk sambil tersenyum menanggapinya.




Kendalikan hatimu Xi Luhan!




Ia keluar dari apartment lalu menyandarkan tubuhnya di pintu. Ini sungguh membahayakan bagi kelangsungan jantungnya jika melihat senyum wanita itu terus-terusan! Ia akan terus berdebar melihatnya, meskipun senyum wanita itu telah ia lihat setiap harinya.


Namun debaran menyenangkan itu berotasi dengan cepat. Nyeri yang menyakitkan itu kembali menyerangnya sesaat setelah melihat wanita itu. Ia tersenyum miris setelahnya dan meninggalkan apartment dengan cepat.




...




"Atas nama Xi Luhan!" wanita paruh baya itu membenarkan letak kacamatanya. Pakaian biarawati yang ia kenakan entah bagaimana, seolah bersinar dimata Luhan.


"Ohh ... Beliau sudah menunggumu," Luhan tersenyum lalu membungkukan badannya sekilas. Ia memasuki bagian dalam gereja dengan hati berdebar. Ia cukup lega melihat setelan formalnya masih dalam keadaan rapi. Setidaknya, ia cukup percaya diri dengan itu.


Luhan berjalan pelan ketika seorang pria dengan baju kebesarannya tengah menunggu dengan tenang di sisi pojok gereja dekat jendela. Pria paruh baya yang penuh wibawa itu tersenyum teduh melihat Luhan yang mendekatinya.


"Tuhan memberkatimu."


Kalimat yang paling sering Luhan dengar ketika menginjakkan kakinya di rumah Tuhan itu menyapu telinganya. Luhan hanya tersenyum menanggapi lalu membungkuk sekilas. Ia duduk dengan tenang dan menatap mata teduh pria paruh baya di hadapannya.


"Santai saja, yang perlu kau lakukan hanya menceritakannya padaku dengan sejujur-jujurnya. Tanpa ada yang terlewat dan tanpa keterpaksaan."


Ia lalu mengangguk mengerti.


"Apakah sebelumnya kau pernah melakukan pengakuan dosa ini?"


"Ini adalah kali pertama bagiku!" pria di depannya tersenyum maklum menanggapinya.


"Ceritakan padaku!"


Luhan menatap manik teduh itu lalu menghela napas sebelum bercerita.


"Namanya Tiffany. Dia adalah seorang wanita yang bekerja sebagai perawat tempat aku dirawat enam bulan yang lalu, aku menyukainya pada pandangan pertama dan perasaan itu terus muncul."


Luhan tersenyum tipis sambil mengingat senyum wanita itu pagi hari tadi. Ia lalu mengeluarkan secarik foto dari saku jasnya dan diberikan pada pria di depannya.


"Bukankah dia sangat cantik?" Luhan seolah bangga pada foto Tiffany. Potret seorang wanita yang tengah berpose di bawah pohon sakura itu memang indah untuk dipandang.


"Aku mencintainya begitu dalam. Hingga pada akhirnya, aku menyadari suatu hal!"


Luhan mengambil napas sebentar.


"Katakan padaku, apakah ini sebuah dosa?"


Pria paruh baya di depannya mengerutkan keningnya.


"Apa? Mencintai seorang gadis dengan penuh kasih bukanlah sebuah dosa, Nak."


Luhan tersenyum tipis. Ia lalu menghadap pria di depannya lalu menggenggam telapak tangannya sendiri lalu diletakkan di pangkuannya.


Pandangannya yang lurus tegas namun terkesan sendu itu mengenai mata sang pria depannya. Ia menghembuskan napasnya kecil lalu melontarkan pertanyaan yang mengganjalnya selama ini dengan lirih.






















"Lalu, apakah tetap bukan sebuah dosa ketika ia telah menjadi ibu tiriku?"



FIN




/gabisa bayangin Tiff jd emak tirinya lulu 😌😌/


Maafkan diriku yg baru bisa update 😭😭 kena WB parah, apalagi ditambah masalah Tiffany yang bikin ikut kepikiran 😭😭


Anyway, aku mau minta maaf buat cerita ini, gatau kenapa aku kok ngerasa ini sedikit sensitif gitu, bukan maksud apa-apa loh ya aku masukin sedikit unsur agama disini. Ini cuma cerita, aku jg gatau sakramen sebenernya itu kaya apa, aku jg gatau masalah diatas bisa 'masuk' buat jadi sakramen apa enggak 😆😆 jadi dimohon pengertiannya 🙏🙏


Segitu aja si, big thanks buat film Sinister 2 yg menginspirasi cerita ini /lohh/ 😂🔫


See ya💞

Exofany Story ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang