Sekolah

17.1K 715 13
                                    

Setelah libur panjang, akhirnya aku bisa merasakan kehangatan bangku sekolah lagi. Kubaca nametag yang menempel indah di id card ku 'Alifia Arabella Putri' ya inilah aku, sekolah hanyalah aktivitas sampinganku untuk menggantikan saudaraku yang sakit - sakitan, kalau dia sehat sudah dipastikan bahwa aku tidak akan pernah meninggalkan rumah ini. Sudah kucoba berkali - kali meminta kepada mama untuk bersekolah dengan namaku sendiri, namun berkali - kali pula mama menolaknya dengan seribu umpatan kasar, bahkan beberapa kali tamparan panasnya menyentuh pipiku hanya karena aku meminta untuk bersekolah.

Setelah kurasa tidak ada barang yang tertinggal, segera kuhampiri meja makan dan menyantap sarapanku.  Kulihat disana sudah ada mama dan Alif yang tengah menyelesaikan sarapannya.

"Olive, jangan lupa ya.. Nanti kamu pilih ekstrakurikuler Rohis sama Dance," pesan alif disela - sela kunyahannya dengan senyum yang selalu membuatku muak.

"Ngapain lo ikut dance? Orang penyakitan kayak lo itu nggak pantes masuk dance bego, yang ada lo malah nyusahin kalo pingsan," jawabku ketus.

"Plak" lagi - lagi tamparan panas itu menghantam pipiku, ini sudah biasa. Dan aku sudah berjanji pada diriku sendiri tidak akan menangis dan meminta maaf untuk perbuatanku itu lagi.

"Jaga kata - katamu Olive!!" teriak mama.  Aku sudah tidak peduli, Segera kuambil tas ranselku dan bergegas pergi kesekolah, setidaknya disana lebih nyaman daripada aku harus menghadapi neraka dunia disini.

"Dasar anak kurang ajar, " umpatan itu masih terdengar nyaring meskipun aku sudah berada diluar rumah.

Mungkin orang - orang yang melihatku selalu menilai bahwa aku anak berandalan, kasar, nggak tau sopan santun, kurang ajar, atau apalah itu aku nggak peduli. Toh mereka nggak tahu kehidupanku itu seperti apa, apa yang  kalian lihat belum tentu seperti apa yang kalian pikirkan bukan? Setidaknya semua tindakanku itu ada alasannya. Karena tindakan keras dibutuhkan oleh orang sepertiku untuk bertahan hidup didunia yang kejam ini.

Setelah lebih dari setengah jam aku berjalan kaki, akhirnya gerbang kokoh bertuliskan 'SMA Penerus Bangsa' terlihat jelas dalam pandanganku. Segera kulangkahkan masuk kakiku dan menyapa setiap kakak osis yang sudah siap tersebar diseluruh penjuru sekolah.

Hari ini adalah hari pertamaku mengenakan seragam putih - abu. Dan hari ini pula aku akan berkenalan dengan orang - orang baru lagi, well tidak terlalu buruk untuk orang yang tidak punya teman sepertiku.

"Hei Olive, wah kita satu sekolah lagi ya? Ah senangnya punya kenalan lama disekolah baru ini," suara cempreng itu sangat familiar ditelingaku, saat aku membalikkan badan aku menyadari bahwa dugaanku memang selalu benar.

"Hei bodoh! Berhenti manggil gue Olive saat kita diluar, ingat gue ini Alif bukan Olive. Euhm.. Kok lo bisa masuk disini juga? Lo ngikutin gue ya? " Aku mengumpat betapa sialnya aku bertemu dia lagi, mulai dari TK, SD, SMP, hingga SMA ini selalu bersama.

Dia adalah Oktaf, satu - satunya dari beribu temanku yang mengetahui jati diriku, yang mengetahui semua kehidupanku dan apa saja yang telah aku alami dan itu yang membuatku muak. Aku benci tatapan kasihannya, aku benci orang yang berpura - pura simpati dalam hidupku, dan aku benci senyumnya yang selalu terlihat bersahabat namun hanya kepalsuan belaka.

"Eehh enak saja.. Aku emang masuk kesini karena beasiswa tahu! Sok ge-er banget kalau aku ngikutin kamu. Kamu masuk Mipa 2 kan? Ayo kita cari sama - sama, kita sekelas lagi." ucapnya sambil menggandeng tanganku.

"Heh sok tau, gue masuk Ips 2 tau!  Jadi orang nggak usah sotoy deh. Satu lagi, nggak usah sok akrab sama gue," segera kulepaskan gandengan tangannya dan pergi dari tempatnya berdiri.

"Loh tapi, dipapan?" tanyanya keheranan yang berhasil membuatku berhenti namun tidak melirik ke arahnya.

"Gue nggak peduli sama pilihan nenek sihir itu, gue yang sekolah dan gue yang nentuin," teriakku yang dibalasnya dengan cekikikan.

"Okey bos, aku juga ikut masuk Ips," sambungnya langsung berlari kearahku dan menggandeng tanganku masuk dengan senyum lebarnya.

"Tapi, ngapain anak pinter masuk ips?" tanyaku heran.

"Emangnya ada gitu larangan buat anak pinter masuk Ips? Banyak kali orang sukses awalnya dari ips, banyak banget malah. Jadi, why not? " balasnya dan segera menyeretku masuk.

Seutas senyum terukir dibibirku, mengesankan. Bagiku jawaban sederhana itu mampu membuatku terpukau. Bukan karena jawabannya, tapi pengorbanannya untuk teman. Aku yakin dia terpaksa masuk ips karena aku, karena yang kutahu cita - citanya adalah ingin menjadi dokter. Mungkin sementara ini aku akan menganggapnya teman.

"Oey malah bengong. Ayo masuk, jangan - jangan mikirin aku? Jadi penantian 10 tahunku ini bakalan berakhir nggak?" tanyanya yang segera aku balas dengan anggukan.

"Jadi aku diterima jadi teman nih? Kyaa sayangkuu.." jeritnya yang langsung memelukku erat.

"Eh bego lepasin, kita kayak pasangan lesbi tau!" gumamku berusaha melepaskan diri.

"Bodo mamat. Tadi bilang aku pinter sekarang bego, jadi yang bener yang mana nih?" tanyanya dengan memasang muka gemes pengen ditonjok.

"Diem atau gue tonjok?" ancamku sambil berlalu yang segera dia ikuti dengan langkah riangnya yang terus bersenandung kesana kemari. 'Ah andai saja aku bisa menjadi seceria itu, aku pasti akan sangat senang' batinku

^bersambung^
Makasih yang udah stay buat baca cerita absurd ini :'v
Tau kok yg nggak bagus :'v tapi jangan lupa komen + vote key?

It's Me (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang