27. Different

90 11 5
                                    


"Bri?"

Aku menoleh dan mendapati si bocah kucrut yang sudah kuhapal betul tampangnya kini tengah memasuki ruangan. Danny, bocah itu berjalan santai kemudian seenak jidat-nya duduk di tepi ranjangku. Tangan kanannya memegang segelas kopi hangat. Aku sedikit terpana. Baru pernah kulihat bocah itu mau membawakanku minuman. Rupanya dia baik hati juga.

Danny tiba-tiba menyeruput kopi yang dipegangnya itu, meminumnya tepat di hadapanku tanpa rasa berdosa. Seketika rasa terpanaku lenyap. Aku menyesal menyebutnya baik hati. Kirain buat gue, tai.

"Masih idup lo?" Ucapnya disela menyeruput kopi. Sial, ia baru saja sengaja minum tepat di depanku, dan kini ia bertanya padaku seolah-olah aku ini korban nyaris mati. Kutatap si kucrut itu dengan jengkel. Asal kau tahu, dia lebih menyebalkan daripada diriku. Amat sangat menyebalkan.

"Menurut lo?" Kubalas pertanyaan sialannya itu dengan sarkas. Danny mengedikkan bahu sembari tangan kirinya melempar gelas plastik bekas kopinya itu ke tempat sampah kecil dekat ranjang. Tepat sasaran.

"Bri, gue abis nganterin cewek lo pulang." Katanya. Dahiku lantas berkerut.

"Siapa?" Cewek gue?

"Ya cewek lo." Sahutnya singkat, tanpa basa-basi. Kutatap Danny dengan tampang tidak mengerti. Rupanya dia menyadari ekspresi sok bego-ku. Danny akhirnya terkekeh.

"Well, gue gatau itu cewek lo atau siapa. Intinya dia itu si gadis pirang yang sering bareng lo pas pelatihan Dream Day." Jelasnya akhirnya. Bukannya paham, kini aku justru menunjukkan tampang semakin bingung. Hal ini ditandai dengan alisku yang sedikit naik. Ekspresi kali ini sungguhan.

Claire? Bayang-bayang wajah bocah idiot yang bodohnya minta digebug itu gamblang nongol di kepalaku.

"Siapa sih?" Tanyaku menyulutkan keheranan. Yeah, aku tidak bodoh, hanya berpura-pura. Aku tahu yang ia maksud adalah Claire. Memangnya siapa lagi gadis pirang yang sering bersamaku selama pelatihan di Dream Day? Lagipula, seingatku, dua puluh lima menit yang lalu Claire keluar dari ruangan ini hendak pulang. Yang aku pikirkan adalah bagaimana bisa Claire diantar pulang oleh Danny. Bukankah mereka bahkan belum saling kenal?

"Ah sepik aja lo, akuin aja itu gebetan lo sekarang. Iya, kan?" Cerocos Danny. Aku tahu ia bergurau, namun aku tidak suka jika ia menyinggung urusan pribadiku. Ekspresiku berubah jengkel. Danny terkekeh.

"Yaelah sensitif banget, Bri." Namun ekspresiku dingin. Danny pun menyeringai. "By the way, tadi dia bilang namanya Clay. Pas di mobil dia bilang nama lengkapnya Clairyne Falner. Lumayan asik sih, cuma agak lemot kalo diajak ngomong." Jelas Danny. Akhirnya bocah itu mengganti topik. Great.

Aku hanya manggut-manggut, tidak menyahut. Aku tidak peduli dengan obrolan mereka di mobil. Yang ada di benakku sekarang adalah 'gimana Danny bisa kenal sama Claire?', 'kapan mereka ketemu?', atau 'sejak kapan mereka bisa akrab?' Namun kurasa lebih baik diam. Jika aku bertanya demikian padanya, jelas Danny akan mengira aku ini terlalu ingin tahu dan dia akan meledekku. Sial, tapi entah mengapa aku penasaran. Persetan.

Kuputuskan untuk bertanya tanpa menjurus langsung ke intinya, ini lebih baik daripada mendengarnya meledekku nantinya. "Lo anterin dia pulang?"

Danny menoleh. Raut wajahnya datar. Bagus. "Iye, kan tadi udah gue bilang." Jawabnya singkat. Namun sepersekian detik bocah itu menyeringai, licik. "Cie, nanyain."

Aku mengutuknya dalam hati.

"Tenang, Brian, gue nggak macem-macem sama dia." Ujarnya. Aku mendengus. Apa peduliku? Toh jika macam-macam dengan gadis itu dia sendiri akan tahu akibatnya. Semacam bengkak pada anu-nya dengan cara ditendang, mungkin.

UNLESS (hiatus)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin