28. One mistake

51 8 22
                                    



***

Clairyne's POV

Entah sudah berapa lama aku berada di kamar mandi, mungkin sudah sekitar satu jam. Kututup mataku, dengan rileks membiarkan tetesan demi tetesan air terus mengalir dari shower membasuh seluruh tubuhku. Dinginnya air shower membuat kepalaku terasa ringan.

"Dan untuk masalah impian lo, gue sama sekali nggak peduli."

Hatiku seketika mencelos, lagi. Demi bulu mata badai Syahrini, ucapan sialan itu sejak beberapa jam yang lalu terus menerus berputar di kepalaku. Aku tidak tahu kapan penderitaanku akan berakhir.

Masalah kedua adalah, Mom baru saja mengomeliku saat aku baru sampai ke rumah. Masih beruntung aku bisa selamat sampai ke rumah berkat diantar oleh Danny, temannya si sialan itu. Yang jadi masalah bukan karena omelannya, namun karena alasanku : menemani Brian di rumah sakit. Dan kemudian Mom malah mengintrogasi diriku, bersama Dylan. Mereka berdua terus menerus menanyakan hal yang bodoh, be like :

"Brian pacar kamu? Kenapa kamu nggak kenalin ke Mom?"

"Kenapa Clay pacaran diem-diem sekarang?"

"Brian anaknya pejabat kaya? Artis? Atau badboy yang ada di gang-gang?"

"Kenapa dia bisa mau sama kamu? Astaga kamu nggak pake pelet kan?"

Aku memijit pelipis. Kepalaku pening. Itu baru masalah kedua, belum yang ketiga. Tadi aku juga adu jambak dengan Dylan, karena dia terus mengatakan bahwa aku harus bersyukur bisa mendapatkan partner seperti Brian. Dia juga bilang aku ini tidak pantas disandingkan dengan artis populer yang kaya seperti Brian. Hal itu tentu membuatku jengkel setengah mati. Buat apa aku disandingkan dengan cowok brengsek seperti dia? Brian, Dylan, bahkan Mom itu sama saja.

Orang-orang hanya tahu bahwa Brian adalah aktor kaya, tampan, dan populer. Mereka tidak tahu sifat aslinya. Yah, memang karena dia menjadi partnerku bukan berarti aku tahu betul semua tentang dirinya. Setidaknya aku hapal betul bagaimana tatapan, sikap, serta ucapan dinginnya itu benar-benar berbanding terbalik dengan yang terlihat di depan publik. Aku juga tidak bisa langsung menuduhnya demikian, mungkin saja dia annoying hanya kepadaku. Tapi, memangnya apa salahku?

Apa Brian membenciku hanya karena aku ini banyak bicara? Hanya karena aku ini tidak kaya sepertinya? Sampai dia bahka tega merusak impian yang baru saja kudapat dari Dream Day. Kenapa pula Daniella dan sepupu gilanya itu selalu menggangguku? Toh aku tidak pernah merugikan mereka. Kenapa mereka semua melakukan itu padaku, padahal aku tidak pernah jahat pada mereka.

Tangan kananku kembali meraih botol shampo. Entah sudah berapa kali aku memakainya. Kupikir aku sudah menghabiskan setengah botol sejak tadi. Daripada shampo itu habis, dan aku terpaksa membeli lagi, lebih baik aku menyelesaikan mandi. Kututup shower, lalu meraih handuk. Kulilitkan handuk satunya pada rambutku, sedangkan satunya untuk membalut tubuhku. Kubuka pintu kamar mandi, aroma sabun semerbak begitu aku melangkah keluar.

Kulihat Dylan sedang asyik memegang ponselnya. Aku hanya memutar bola mata. Masa bodo, paling juga dia sedang chat dengan pacarnya. Namun aku heran mengapa dia terus cekikikan sampai akhirnya aku sadar akan satu hal.

Itu ponselku!

Aku spontan menyambarnya dari tangan Dylan. Bocah itu juga terkejut begitu melihatku tiba-tiba muncul dari belakang. "Anjir, gue kira wak gombel." Tukasnya, menahan napas.

UNLESS (hiatus)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin