Mos satu hari

81 14 1
                                    

Mos hanya diadakan satu hari. Karena kepala sekolah tidak ingin membuang waktu terlalu banyak. Jadi hari ini adalah penutupan acara Mos.

Sania dan Seren lagi-lagi mendapat barisan di belakang. Dan lagi-lagi Sania mengantuk. Membuat Seren yang hanya bisa menggelengkan kepala. Kali ini dia tidak protes, wajah lucu sahabatnya itu membuat Seren bungkam untuk menjailinya.

"Terimakasih kepada para anggota osis yang sudah membantu acara ini. Saya sebagai kepala sekolah mengucapkan selamat datang kepada kalian semua, murid lulusan dari smp kalian masing-masing. Semoga kalian betah di sekolah ini. Jadikan sekolah ini seperti rumah kalian, agar kalian merasa nyaman berada di sekolah. Terimakasih, cukup sekian." Ucap Sang Kepala Sekolah.

"Ah akhirnya selesai. Balik yuu." Pinta Sania.

"Nanti ah, mau liat nama gue masuk kelas mana." Kata Seren menarik tangan Sania.

"Eh yaudah gue juga." Kata Sania ikut berjalan bersama Seren.

Mereka menunggu para 'penonton mading' berkurang. Mereka paling benci bila berdesak-desakan. Lebih baik menunggu satu jam dari pada harus berdesak-desakkan dengan yang lain.

Setelah mulai sepi, mereka berdua segera mencari nama mereka masing-masing. Dan mereka satu kelas. Di 10.5, syukurlah mereka satu kelas.

"Sekelas sama lo lagi, bosen gue!" Protes Seren.

"Ah bilang aja lo seneng kan?" Kata Sania tahu bahwa sahabatnya itu senang.

"Haha tau aja lo." Seren tertawa jahil mendengarnya.

Mereka berdua pun pulang, menunggu bus di halte. Sania terpaksa tidak membawa motor karena takut terkena marah oleh anggota osis. Saat sampai, mereka duduk di halte. Bercanda gurau sampai penghuni halte merasa tidak nyaman dengan kelakuan mereka. Namun tiba-tiba Fathur datang, mengajak Seren pulang bersama. Dan tentu saja dia menerimanya.

"Seren, pulang bareng kakak yu!" Ajak pria tinggi itu.

"E-eh ga usah ka, ntar ngerepotin." Kata Seren berusaha menolak, padahal hatinya ingin sekali mengatakan 'iya'.

"Ah sok lugu lo. Bilang aja mau. Udah sana sama ka Fatur, gue sih udah terbiasa sendiri." Kata Sania menyenggol bahu Seren.

"Seriusan gapapa?" Seren memastikan sahabatnya itu tidak marah.

"Iyaa gapapa, cepetan sana sebelum gue berubah pikiran." Kata Sania mengusir mereka.

"Eh yaudah deh gue duluan ya San, yuk kak." Seren berdiri di sebelah Fathur dengan senyum sumringahnya.

"Kaka duluan ya Sania. Hati-hati banyak pria nakal disini." Kata Fathur jahil.

"Kalau ada yang nakal sama gue, gue bunuh tu orang." Kata Sania sambil melipat tangannya di depan dada.

Seren dan Fathur pun meninggalkan Sania yang duduk menunggu bus di halte. Sania merasa senang karena setelah Fathur datang, wajah Seren begitu sangat gembira. Dia pun tidak tega kalau dia melarang Fathur pulang bersama Seren.

Sania mulai bosan, matanya sudah mulai melihat kesana kemari. Saat menengok ke kanan, dia melihat Aldan berjalan menuju halte. Dan tempat yang masih kosong adalah di sebelahnya. Tempat yang tadi diduduki Seren.

"Mah jemput ya." Begitu lah kalimat yang didengar Sania saat Aldan menjawab telepon.

Aldan duduk di sebelah Sania, membuat Sania malu. Pipinya mulai memerah, tak kuasa menahannya Sania pun menunduk.

"Ngapain lo nunduk. Gue ga nakal sama lo, lagian lo nunggu bus kan? Mana keliatan kalau posisi lo nunduk gitu." Kata Aldan yang tetap menatap ke jalanan.

"Gapapa." Seru Sania malu.

"Eh itu ada bus!" Pekik Aldan tiba-tiba.

"Ah mana?"

Sania kaget, langsung lah dia mendongakkan kepala. Tengok kanan kiri mencari bus, tetapi tidak ada.

"Nah gitu kalau duduk tuh jangan nunduk. Biasa aja kali kalau ketemu gue." Kata Aldan melukiskan senyum tipis di wajahnya.

"E-eh." Gumam Sania kikuk.

"Berisik lo, udah ah gue haus. Gue tinggal beli minum dulu." Aldan berdiri dan menuju salah satu toko minuman.

Sania hanya mengangguk pelan, dia malu, malu melihat wajah Aldan. Setiap kali melihatnya pasti pipinya memerah.

Matanya terus mengamati Aldan yang sedang menyodorkan uang ke pedagang minuman. Saat Aldan ingin kembali ke halte, Sania buru-buru mengalihkan padangannya ke jalan. Takut-takut Aldan menyadari bahwa Sania memperhatikannya.

"Eh Aldan, gue minta nomor hp lo." Kata Sania memberanikan diri.

"Sekalian sama nomor rumah engga?" Tanya Aldan iseng.

"Ngapain gue minta nomor rumah lo?" Sania balik tanya.

"Barangkali mau main. Sini hp lo. Gue males ngomong." Kata Aldan menengadah.

Sania menyerahkan handphonenya kepada Aldan, setelah selesai Aldan mengembalikan handphone Sania. Suasana terasa milik berdua, Sania ingin menanyakan kelas Aldan namun suara klakson mobil hitam yang terkesan mewah lebih dulu mencegahnya.

"Gue duluan." Kata Aldan berjalan menuju mobil itu.

"Iyaa." Jawab Sania sambil melambaikan tangannya.

Sania PoV

Pasti orang kaya, ah gue mah pulang naik bus bukan naik mobil mewah kaya gitu.

Author PoV

Setelah melihat mobil yang dinaiki Aldan menjauh, bus yang ia tunggu datang. Seolah-olah busnya mengerti kalau dia senang menghabiskan waktu bersama Aldan.

                          * * *

"Mamaaahh!" Suara Sania terdengar jelas sampai ujung ruangan rumahnya.

"Iyaa? Masuk aja. Pintu ga dikunci." Seru ibunya dari dalam rumah.

Sania masuk dengan langkah gontai membawa tasnya, ia merebahkan diri ke sofa dengan rambut yang acak-acakan. Ibunya yang mendengar suara tubuh rebahan Sania langsung menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.

"Maahh, cape tau. Tapi seneng." Kata Sania memejamkan matanya.

"Ketemu cowo kemaren?" Tanya ibunya yang sedang mengganti channel tv.

"Hih enggaa! Masa mosnya cuman satu hari. Kepala sekolahnya ga mau buang-buang waktu, pengen siswanya cepet belajar. Kan aneh mah." Kata Sania sambil melepas dasi.

"Ya terserah kepala sekolah dong. Udah sana kamu ganti baju." Kata ibunya mengguncang-guncangkan tubuh Sania.

"Ganti baju terus tidur siang."

"Terserah kamu San." Kata ibunya pasrah.

Sania melangkah riang menuju kamarnya, menaruh tasnya, berganti pakaian, mencuci mukanya yang kusam dan merebahkan diri di kasur. Siap terlelap di siang hari. Namun hatinya ingin menuliskan sesuatu.

Dia mengambil buku diary di laci lemari. Mulai menuliskan isi hati dengan gembira yang masih menyertai.

Hai pujaan hati.
Sudah lama aku mencari pemilik hati ini yang sudah lama tak disinggahi.
Menanti selama ini dengan keadaan yang amat aku sesali, yaitu menunggu sesuatu yang tidak pasti.

Namun, kamu datang.
Bukan suatu kebetulan kan?
Karena Tuhan jauh lebih dulu merencanakan.
Pemilik hati ini sudah ditemukan
Yaitu kamu, Aldan Raihan.

Setelah selesai menuliskannya, Sania mendekap buku diarynya, tersenyum bahagia menatap langit-langit kamar, dan beberapa menit kemudian dia sudah terlelap.

With You Babe❤Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang