Bonus Story

288 16 11
                                    

Kangen nggak sama cerita ini? Kok aku kangen ya? Hahaha.

Selamat membaca ;)

------------------

Di sudut taman kampus ini, terlihat seorang perempuan yang sedang duduk sendirian. Rambutnya coklat terang terurai, sedikit berkilau di bawah sinar matahari. Dia memakai blouse warna merah gelap dengan celana denim biru gelap dan Vans hitam. Sangat kontras dengan warna kulit putih kemerahannya. Di sampingnya, dia membiarkan jaket ungu dan tas ranselnya tergeletak. Wajah perempuan ini terlihat sangat serius bahkan kacamata yang dipakainya merosot pun juga tak dihiraukan.

Dia masih membaca novel yang sama sejak kemarin. Sampul novel itu terlihat sedikit usang, warnanya coklat krem, dipegang erat kedua sisinya. Wajahnya terkadang terlihat sendu namun terkadang juga dia menahan senyumnya. Semua ekspresi wajah itu selalu dilihat dari lelaki ini dari kejauhan.

Baginya perempuan ini tetaplah cinta pertamanya. Meskipun awalnya dia sempat menyerah mengejar cintanya, takdir malah berkata lain. Perempuan ini masuk ke universitas yang sama dengannya. Kemudian sudah lama juga perempuan ini ‘sendiri’ sejak kekasih pertamanya memutuskannya. Sikapnya yang dulu manja dan rewel, berubah sejak ditinggal Papanya. Namun lelaki ini tetap menerima apa adanya, dia tetap menyukai Adellia.

Perlahan Gerry berjalan menghampiri Adell yang masih sibuk dengan novelnya. Keputusannya hari ini untuk mengurus berkas-berkas wisudanya memang tepat, dia bertemu dengan Adelle di hari ini.
Adelle yang sejak tadi menunduk, mengangkat kepalanya. Kedua mata melebar melihat siapa yang sudah berdiri di dekatnya.

Musuh sekaligus sahabat kakaknya, Gerry.

Sejenak Adelle menghembuskan napas. Dia mulai bosan bertemu manusia ini tiap hari.

“Sendirian?” tanya Gerry basa-basi busuk. Dia tau pertanyaannya sampah sekali tapi dia juga bingung mau bertanya apa.

“Iya, kan satu lagi setan.” Jawab Adelle ketus. Gerry memasang tampang sedih.

“Gue setan, lo iblis ya.” Tanpa izin, dia duduk tepat di sebelah Adelle. Sangat dekat bahkan Adelle bisa mencium wangi parfumnya.

Seingat Adelle, Gerry bukan tipe-tipe orang yang suka memakai parfum atau mungkin pomade yang sedang tren itu. Penampilan Gerry sejak dulu biasa saja. Sama seperti sekarang. Dia memakai kemeja lengan pendek berwarna navy, jeans hitam, dan sepatu kets. Gaya potong rambutnya juga sederhana meskipun sekarang bagian depannya agak panjang sedikit. Badannya masih tetap kurus. Lagipula Adelle sudah sering melihat Gerry sejak SMP jadi menurutnya tidak ada perubahan yang signifikan.

“Bodo amat,” ucap Adelle acuh. Dia kembali membaca novelnya, membuat Gerry hanya tersenyum kecil.

“Jangan bodo amat dong, entar kangen gue gimana..” ujarnya sambil menatap Adelle dari samping. Adelle mengendikkan kedua bahunya tak peduli.

“Enggak juga sih.”

“Datang ya ke wisuda gue tahun depan.” Pinta Gerry tanpa memerdulikan ocehan Adelle tadi. Adelle sempat tertangkap melirik sejenak tapi tetap berusaha acuh.

Oh itu maksudnya enggak ketemu lagi, gumam Adelle dalam hati. Mengingat itu membuat perasaan Adelle mendadak tak nyaman. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa kosong.

Sudah terlalu banyak yang meninggalkannya. Dari Papanya, lalu kakaknya yang mulai sibuk kerja.. Sedangkan di kampus ini dia belum menemukan teman yang sesuai dengannya. Sahabatnya ketika SMA juga sudah sibuk semua. Kalau ditinggal pengganggunya satu ini..

“Hmm.. Enggak tau bisa atau enggak.” Suara Adelle sempat terdengar serak. Namun dia tetap tak mau menatap Gerry. Gerry hanya diam menatap Adelle dengan tatapan intens.

Settle for LessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang