Aku melirik isi tampungan ngamen hari ini. Ada yang berwarna ungu, ada yang cokelat, ada juga yang berwarna.... Err, aku enggak tau warna apa duit 2000 itu. Yang jelas lebih banyak yang bergambar Pattimura megang golok.
Tapi dari semua itu, ada uang yang sangat mencolok. Warna hijaunya ini seperti pohon beringin di tengah-tengah lapangan gersang. Indah banget.
Kalau teringat siapa yang memberikan uang ini, membuat aku senyum-senyum sendiri. Cowok ganteng nan rupawan yang baik hati itu benar-benar unforgetable! Sampai sekarang aja aku ingat banget kalau senyumnya itu yang membuat semua terasa indah.
Eng.. Jijik bener bahasanya.
"Lo kenapa sih, Nes?" Abi berjalan di sampingku setelah kami turun dari bis. Dia masih menenteng Anggi, salah satu gitarnya lagi, sambil memasang wajah penuh tanya.
Kalau kalian tanya apa beda Anggi, Sella, dan Kristin, jujur aku juga enggak bisa bedain. Semuanya sama. Tapi Abi selalu mengelus-elus gitarnya dengan nama yang berbeda-beda sebelum main. Makanya aku bisa tau nama-namanya. Entah dapet darimana itu nama, yang jelas nama mereka lebih bagus daripada namaku. Hmmm...
"Lagi ngitung," jawabku asal dan melirik ke isi kantung. Jujur, aku lagi malas menghadapi pertanyaan Abi. Dia itu kan orangnya maksa banget. Tidak akan berhenti sebelum mendapat jawaban.
"Masa lo ngitung sambil senyum-senyum? Kenapa sih?"
Tuh. Bener kan. Aku menoleh ke arahnya yang masih memandangku penuh tanya.
"Daripada lo ngoceh terus, mending cepet-cepet ke kampus deh. Gue sih hari ini enggak ada kelas,"
Noval yang dari tadi diam saja, langsung berdiri di hadapanku. "Bagi jatah dulu lah! Biar semangat ngampus!"
Sebetulnya hari ini aku ada kuliah pagi. Tapi kelasnya sudah selesai jam 9 tadi, makanya kami baru mulai ngamen jam setengah 11. Untungnya kelas Abi dan Noval mulai agak siang.
Oh iya, sebetulnya kami sangat menghindari ngamen jam-jam sore. Karena sudah ada jatahnya. Daripada harus menghadapi kelompok pengamen lain dan terjadi tawuran mendadak, lebih baik kami mengalah. FYI aja sih, pengamen daerah terminal itu lebih brutal daripada di Bekasi. Jadi kami memutuskan untuk mengamen pagi-pagi dan berangkat dari Bekasi.
"Lo anak pejabat aja masih minta jatah," dengusku pelan. Noval nyengir lebar. Eng, Lebih tepatnya nyengir bego. Tapi itu hanya sesaat karena dia kembali memasang muka galak. Sekarang muka dia enggak ada bedanya sama Butut alias Bu Tuti, ibu kost anku kalau minta uang kost an.
"Mana jatah gue?!" desak Noval tak sabar. Mataku mendelik lebar menatap Noval.
"Entar, geblek! Ini masih di jalan! Lo mau entar duit raib lo dirampok preman?!" sungutku kesal dan menyembunyikan kantung tadi ke dalam gitarku. Noval terlihat berpikir sejenak lalu tertawa lebar. Yah, penyakit lemotnya kumat, batinku. Baru aja tadi pagi aku puji dia, eh sekarang balik lagi ke asal.
"Hahah! Lupa gue! Oke! Oke!"
"Lagian lo kenapa sih minta-minta jatah? ATM lo ditarik?" timpal Abi. Hem, bagus deh dia lupa pertanyaannya tadi. Aku benar-benar malas kalau diinterogasi Abi. Lama-lama dia kayak bapak sih.
Noval hanya memberikan tatapan 'entar gue jelasin nanti' kepada Abi. Abi mengangguk pelan.
***
Dua puluh menit kemudian, kami sudah berjalan jauh bahkan sudah sampai di kost anku. Tanpa menunggu waktu lama, aku, Abi, dan Noval duduk melingkar depan pintu. Pembagian jatah dimulai!
"Cepet! Mana jatah gue?! Buruan!" Noval melepas kajoon dari punggungnya dan menatapku garang. Hadeh, ini anak otaknya makin korslet aja. Baru juga nyampe. Napas aja belom! Jangan-jangan otaknya ketinggalan di angkot!
KAMU SEDANG MEMBACA
Settle for Less
General Fiction(SEDANG DIREVISI) Jatuh cinta sama pengamen? Kenapa tidak? Toh belum tau kan aslinya gimana? Fathir tidak menyangka pertemuannya dengan pengamen ini membuatnya terperangah. Semua terasa datar di hidupnya tapi berbeda setelah kehadiran Nesha, pengame...