"Thir! Fathir!"
Suara panggilan itu membuat cowok ini terkesiap. Dia menolehkan kepalanya ke segala arah, mencari sumber suara sampai akhirnya dia melihat siapa yang memanggilnya.
"Lo tumben masuk? Ada kelas?" Seorang cowok merangkul bahunya dari belakang. Sementara cowok yang dipanggil Fathir tadi berdehem pendek. Mengingat dirinya harus berdebat lagi dengan salah satu dosen killer-nya nanti, membuatnya jengah. Kemudian dia mengeluarkan sebuah berkas dari tasnya.
"Gue mau ketemu Pak Freddy!" jawab Fathir sedikit ketus. Dia merapihkan kertas-kertas yang berjumbel itu dengan satu paper clip lalu menentengnya. Setelah itu tangannya beralih menepis rangkulan Gerry, sahabatnya.
"Hah? Ngapain?"
"Biasa." Lalu dibalas dengan anggukan pelan dari Gerry. Sudah pasti itu revisian skripsi.
Mereka berjalan melewati taman kampusnya. Kampusnya ini lumayan, bisa dikatakan salah satu universitas swasta yang terkenal di kota Depok. Fathir dan Gerry ini satu sekolah saat SMA maka tak heran mereka dekat seperti itu. Mereka masuk ke jurusan yang berbeda saat kuliah tapi tak memutuskan tali persahabatan yang mereka jalin. Sayangnya minat kuliah Gerry sangat kecil sehingga dia tertinggal satu semester dari Fathir.
"Oh, iya. Entar jadi?" tanya Gerry lalu Fathir mengernyitkan dahinya.
"Enggak tau. Lihat nanti deh. Kalau berhasil, pasti gue ikut." jawab Fathir penuh teka-teki. Untungnya Gerry dapat menangkap maksudnya dengan jelas.
Mana mungkin gue tidak ingat malam ini? Tanya Fathir dalam hati. Harus manggung di salah satu kafe lagi, menjadi vokalis sekaligus gitaris handal di bandnya. Ini mimpinya sejak dulu, menyanyi dan dihargai. Sayangnya semua jadi tersendat mengingat skripsinya yang harus selesai kalau tidak...
"Gimana kalau lo enggak bisa?" Nada ucapan Gerry terdengar datar tapi wajahnya terlihat cemas. Sambil tersenyum tipis, Fathir menepuk bahu Gerry pelan.
"Oke, gue ralat. Gue pasti ikut."
***
Berkutat dengan Pak Freddy selama 3 jam penuh membuat batinnya panas. Kesabarannya sudah diuji setelah tadi Pak Freddy merevisi bagian yang awalnya tidak perlu direvisi, lalu nanti dia harus pulang naik bis sialan itu.
Andai kemarin enggak ikut, batinnya sedikit menyesal.
Fathir ingat dia harus pulang malam karena mengiyakan ajakan temannya jalan-jalan ke Puncak. Hanya jalan-jalan seharian, tidak menginap. Itu juga atas nama solideritas sesama kawan SMA-nya. Sayangnya saat dia sampai di rumah, papanya sudah menunggu kedatangannya. Seperti tidak mau mendengarkan penjelasan Fathir, papanya langsung menuding Fathir asyik nge-band dan melupakan skripsinya. Karena sifat papanya yang tidak suka dibantah, dengan berat hati Fathir menyerahkan kunci mobilnya. Fathir mengusap wajahnya sedikit frustasi.
Fathir melangkahkan kakinya keluar kampus dan memasukkan bundelan kertasnya ke dalam tas. Matanya menatap lurus ke depan, tidak mau melihat ke sekelilingnya. Pikirannya terus berkecamuk pelan lalu tiba-tiba teringat kejadian tadi pagi.
Pengamen-pengamen itu!
Apa mereka mengamen lagi kalau sore? Tanyanya dalam hati.
Fathir kembali duduk di kursinya tadi. Bis ini tidak sama persis seperti tadi, tapi intinya tetap sama. Naik bis. Bedanya ini untuk pulang. Bukan berangkat panas-panas seperti tadi pagi.
Telinganya mendengar suara derap langkah berisik dari pintu depan. Jantungnya sempat berdebar, entah mengapa. Cukup lama tidak terdengar suara sampai salah satu dari mereka membuka penampilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Settle for Less
General Fiction(SEDANG DIREVISI) Jatuh cinta sama pengamen? Kenapa tidak? Toh belum tau kan aslinya gimana? Fathir tidak menyangka pertemuannya dengan pengamen ini membuatnya terperangah. Semua terasa datar di hidupnya tapi berbeda setelah kehadiran Nesha, pengame...