10 - Shocking Sunday

608 34 3
                                        

“Sumpah, penampilan kalian tuh keren banget!” Vania bertepuk tangan heboh menyambut kedatangan empat sahabatnya. Sementara yang dipuji hanya tersenyum lebar.

Penampilan band Fathir tadi memang melebihi kata memukau. Lebih tepatnya sangat memukau. Vania sendiri sampai kagum dan tersentuh melihatnya. Apalagi mendengar nyanyian Fathir yang juga sedikit mencubit hatinya.

And all that I’ve done? Is it ever enough? Lirik itu terulang kembali di kepala Vania sehingga dia hanya menyunggingkan senyum tipis.

Tangan Gerry mengacak-acak rambut di puncak kepala Vania. “Haha kami tau kalau kami keren dan kami bangga,”

Vania mendengus pelan dan menyingkirkan tangan Gerry dari puncak kepalanya. Dia membereskan rambutnya lalu menoleh ke belakang. Tanpa sadar dia tersenyum melihat sahabat karibnya, Gea, yang masih terdiam.

Gea yang dari tadi tidak bersuara terlihat bahagia melihat sahabat-sahabatnya. Dia merasakan rasa rindu yang teramat besar terhadap sahabat-sahabatnya, terutama kepada laki-laki yang sedang menatapnya tajam di balik Gerry.

Fathir.

Mata Fathir menatap Gea dingin. Menusuk. Bahkan Gea harus memalingkan pandangannya karena merasakan panas menyala dari tatapan Fathir.

Sementara Fathir tidak mengubah arah pandangnya. Dia tidak mengerti apa yang diinginkan Gea. Gea sempat menatapnya penuh kerinduan dan ia sadari itu. Tapi untuk apa? Apa yang dirindukan perempuan itu? Bukankah semua kenangan mereka menyakitkan? Baginya, tidak ada lagi yang perlu dirindukan dari masa lalu.

Lagipula.. Apa semua kerinduannya dulu ketika menunggunya juga terbalas? Menunggunya pulang dan mereka hanya bisa berinteraksi maya karena terbentang jarak yang sangat jauh..

Tidak! Bahkan dicampakkan! Fathir masih merasakan sakit yang teramat dalam di hatinya. Matanya terus menyeleksi setiap tingkah Gea, apakah Gea merasa terintimidasi dengan tatapannya.

Tiba-tiba Gerry menepuk bahu Gea, membuat Gea sedikit terlonjak. Gerry memberikan senyum tipis kepada Gea dan berkata. “Gimana New York?”

Gea tersenyum. “Dingin,”

Gerry tertawa pelan. “Mungkin lo butuh kehangatan dari gue!” Gerry merentangkan kedua tangannya, hendak memeluk Gea. Fathir yang sedari tadi memerhatikan Gea, sedikit kaget dan membelalakkan matanya.

Untungnya aksi itu diberhentikan oleh tangan Ryan. Fathir menghela napas lega, entah kenapa. Sementara tangan Ryan masih berada di antara Gea dan Gerry sambil menatap Gerry datar.

“Jangan mulai lagi, cowok cabul!”

Cowok cabul, Gerry meringis menyebut sebutan itu. ‘Cowok cabul’ merupakan sebutan yang dilontarkan Fathir ketika melihat Gerry mulai menggoda Adelle. Sampai-sampai Adelle berlari ketakutan (karena waktu itu dia masih SMP) dan Fathir langsung menyebutkan kata-kata ajaib itu. Hebatnya sebutan itu langsung menyebar cepat dan menjadi julukannya sampai sekarang.

“Ya udah sih. Gue cuma mau nanya doang kok Gea bisa disini? Katanya hari Senin baru sampai?” tanya Gerry sambil mengendikkan kedua bahunya. Vania yang mengetahui alasannya langsung angkat bicara.

“Dia mempercepat penerbangannya ke sini. Katanya mumpung weekend dan sekalian liburan juga,” jelasnya. Hampir semua orang di sini mengangguk kecuali Fathir.

Fathir melayangkan tatapan sinisnya kepada Gea. Jujur dia kaget melihat Gea yang ada dalam kafe ini. Selain itu, dia juga belum mempersiapkan mentalnya jika harus bertemu Gea. Dia belum siap 100%. Tapi karena Gea sudah hadir di sini, dia hanya bisa pasrah. Fathir hanya mengacuhkan dan mengabaikan Gea. Agar Gea sadar kalau Fathir sudah baik tanpanya. juga sadar kalau Fathir membencinya.

Settle for LessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang