14 - Their Quality Time

448 29 2
                                    

Aih... Maap ya baru update. Akhir-akhir ini cepet banget pusing kalau di depan laptop ><

Maap ya dikit hueee

Dan ini khusus tentang Fathir dan Nesha :3

.

“Fa... thir?”

Mata Nesha tidak berkedip dan menatap Fathir yang terdiam. Dalam hitungan kelima, mereka tetap terdiam dan hanya ada suara deru motor yang mengisi keheningan. Nesha menelan ludahnya sedikit gugup.

“Eng.... Lo laper nggak?! Beli makan yuk! Dari tadi gue belum nawarin lo makan, jadi enggak enak nih gue he-he-he.” Nesha membangkitkan badannya dan nyengir sendirian. Canggung! Awkward! Kikuk! Dan banyak kata-kata yang mendeksripsikan betapa rumitnya situasi saat ini.

Sambil menghitung uangnya, Nesha meringis pelan. Fathir itu kenapa sih? Tanyanya dalam hati. Dia itu serius mau aku jadi pacarnya? Otak dia udah terbentur apa sih sampai ngomong ngelantur gitu? Apalagi kami kan baru kenal?

Fathir memerhatikan setiap tingkah Nesha dalam diam. Dia mengerti jika permintaannya sedikit buru-buru. Mulutnya tadi keceplosan mengatakan ‘itu’. Inginnya dia mengatakan kata-kata mujarab tadi nanti, entah kapan yang jelas bukan sekarang. Tapi semua sudah terjadi. Beras di panci sudah menjadi bubur... Mau tidak mau harus dibuat jadi bubur yang enak kan?

“Nes, a—”

“Lo mau makan apa? Gue traktir deh dari hasil uang ngamen tadi,” Nesha membungkukkan badannya dan dikipas-kipasnya uang itu di depan Fathir. Nesha menunjukkan senyum percaya diri. Dengan uang segitu, cukup untuk membeli nasi padang dua porsi bahkan lebih.

Lagipula Nesha juga harus menyelamatkan situasi ini seperti sedia kala. Dan di otaknya hanya ada satu cara: makan. ‘Loe bukan loe kalau laper’—seperti kata iklan Sneakers—makanya dia yakin Fathir pasti lapar.

Selain itu dia tidak tau akan menjawab apa pertanyaan Fathir tadi. Kalau iya.. Mereka baru saja kenal. Belum lagi masih ada rasa trauma karena tingkah Doni dulu, meskipun dia yakin Fathir bukan cowok seperti itu. Tapi kalau menjawab tidak mau.... rasanya hati Nesha tak rela.

“Enggak usah. Kita delivery aja. Aku yang bayar,” Dengan tenang, Fathir mengeluarkan HP dari saku celana jeans-nya. Dia sudah mengetikkan beberapa angka tapi dicegat oleh seruan Nesha.

“Jangan! Gue yang bayar!” Nesha duduk bersimpuh di depan Fathir seraya menahan gerakan Fathir. Fathir sendiri hanya menatap Nesha sekilas dan berkata sesuatu dengan lawan bicaranya di telepon.

“Halo. Iya, malam. Saya pesan yang SuperSupreme, dua, large. Iya... Iya.... Minumnya CocaCola. Iya... Alamatnya..” Fathir berpikir sejenak. “Di Gang Haji Muhidin deretan kost an Ibu Tuti dalam Pertigaan Cibubur. Iya.. Baik... Malam,” Fathir menutup teleponnya dan menatap Nesha yang melongo dengan seringaian lebar.

“Memangnya kamu bisa bayar dua loyang pizza besar tanpa hutang?” tanya Fathir dengan nada mengejek. Nesha mendengus kesal dan membuang mukanya. Dia mulai kesal, betapa sombongnya sosok bernama Fathir ini sampai akhirnya dia menyadari sesuatu.

Aih?! Apa tadi?! Nesha menjerit dalam hatinya. Dia baru sadar kata-kata Fathir tadi ada yang... berbeda? Nesha menoleh kembali ke arah Fathir. “Lo?!” Nesha menunjuk ke wajah Fathir, “sejak kapan pakai aku-kamu?” tanya Nesha tak percaya.

Fathir menengadahkan kepalanya ke atas, berpikir sejenak. “Sejak tadi,” jawabnya tenang sambil menatap lagi ke arah Nesha. Andai Nesha tidak punya hati, mungkin Fathir sudah babak belur karena pukulannya tapi... Ish. Nesha meringis pelan.

Settle for LessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang