Di SUATU JALAN bukit yang sepi nun jauh di sana, di bawah rembulan yang redup, lamat-lamat tampak dua sosok manusia sedang berlarian dengan langkah tergesa-gesa.
Menanti mereka semakin mendekat, tampaklah kalau dua orang itu adalah seorang nenek berambut putih yang sedang menggandeng tangan seorang bocah cilik.
Sambil berlari kencang, tiada hentinya nenek berambut putih itu berpaling ke belakang memandang ke arah belakang dengan sinar mata gugup, panik dan ketakutan.
Sekilas pandangan saja, dapat diketahui kalau mereka sedang menghindarkan diri dari suatu persoalan atau pengejaran dari sementara orang.
Tapi bila dilihat dari langkahnya yang lamban serta perawakan tubuhnya yang telah menua, bisa diketahui pula jika dia bukan seorang manusia persilatan, melainkan seorang nenek biasa yang berhati baik. Di depan sana terbentang sebuah hutan bambu yang amat lebat, melihat itu bagaikan si penjelajah gurun pasir yang bertemu dengan tanah hijau, wajah nenek itu segera berseri, dengan cepat dibopongnya bocah itu kemudian sambil mengerahkan sisa tenaga yang dimilikinya, dia kabur masuk ke dalam hutan dengan napas tersengal.
Setelah berada di dalam hutan, nenek itu kembali berpaling dan celingukan beberapa waktu lamanya ke tempat luaran sana, kemudian itu baru ia hembuskan napas panjang dan meletakkan si bocah ke tanah.
Sambil duduk kelelahan, ia berkata: "Aaaaiii... Masih untung Thian melindungi kita dan lolos dari mulut harimau, mari kita beristirahat sebentar!"
Baru selesai si nenek bergumam, mendadak dari belakang tubuhnya berkumandang suara seram yang kedengarannya mendirikan bulu roma orang. Mendengar suara itu si nenek segera berpaling...
Mendadak ia menjerit tertahan saking kaget dan takutnya.
"Aaaah...!"
Entah sejak kapan, ternyata di belakang tubuhnya telah berdiri berjajar tiga orang bersenjata golok yang mengenakan kain penutup wajah berwarna hitam di atas wajah mereka.
Di tengah jeritan kaget si nenek, dari balik hutan secara beruntun muncul lagi empat lima orang berkerudung hitam.
Ia tak berani berayal lagi, buru-buru dibopongnya tubuh bocah itu ingin menerjang ke luar dari kepungan, siapa tahu baru saja ia bangkit berdiri, dua orang manusia telah muncul di hadapannya dan menghadang jalan pergi nya.
Tergetar keras perasaan si nenek setelah menjumpai empat penjuru penuh dengan musuh. Hatinya menjadi dingin separuh, buru-buru ia menjatuhkan diri berlutut, lalu sambil menangis pintanya:
"Kumohon kepada hohan sekalian agar mengampuni selembar jiwa bocah ini, keluarga Suma tinggal seorang sauya ini saja, dia masih kecil dan tak tahu urusan, kumohon kepada kalian kasihanilah selembar jiwanya."
Sambil berkata, air mata nenek itu jatuh bercucuran dengan amat derasnya. Sungguh mengenaskan sekali keadaannya.
Siapa tahu yang diperoleh sebagai penggantinya adalah gelak tertawa licik yang mendekati kalap.
Terdengar salah seorang di antaranya berkata;
"Toaya sekalian bertugas di sini memang bertujuan untuk melenyapkan keturunan Suma Tiong Ko, kau si nenek jelek yang sudah hampir mampus untuk menyelamatkan diri saja belum tentu sanggup, masih berani benar memikirkan keselamatan orang lain, lebih tak usah banyak bacot lagi!"
Mendengar perkataan itu, si nenek bertambah gelisah, sambil menangis tersedu-sedu kembali pintanya,
"Ooohhh... hohan sekalian, kalau mau membunuh, aku saja! Kumohon kepada kalian agar suka mengampuni selembar jiwanya, berbuatlah sedikit kebajikan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kitab Pusaka - Wo Lung Shen
AventuraSebuah kitab maha sakti peninggalan Ku Hay Siansu, seorang pendeta lihai yang hidup pada empat ratus tahun lalu, kitab itu bernama Kun Tun Kan Kun Huan Siu Cinkeng. Dikarenakan kitab itu berbentuk sebuah lembar kosong, maka hanya yang berjodoh saja...