Wait for Me Cil

282 15 2
                                    

Author POV

Lagi. Untuk kali keempat di Minggu yang sama, Andra datang ketempat ini. Kadar untuk mengenang gadis kesayangannya. Juga untuk mengobati Rindu dihatinya, rindu yang tak pernah bisa terobati seutuhnya.

"Happy Anniversary Cil. Ini tanggal empat belas kita yang ke tiga puluh delapan, dan empat belas yang ke tiga puluh satu aku tanpa kamu" Andra mengelus permukaan nisan putih yang ada didepannya. Lalu mencium puncak nisan tersebut.

"Apa kamu inget? Dulu kamu sering ngomel kalo aku telat makan. Kamu bilang aku manja kayak anak kecil, makan aja harus disuruh" Andra menghela napas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar lewat mulut.

"Sekarang aku udah telat-oh bukan. Lebih tepatnya ngga, iya ngga. Aku sendiri lupa udah berapa hari aku ga makan. Tapi kenapa kamu gak omelin aku? Kenapa kamu gak pukul aku?" Andra berbicara sendiri, tertawa kemudian. Menyadari kebodohannya karena bicara sendirian.

"Aku tau aku telat Ca, aku telat banget nyadarin semua ini. Maafin aku"

Kehancuran, kenangan, dan kerinduan itu langsung datang menghampirinya bertubi-tubi. Dia mengulas sebuah senyum samar. Lebih tepatnya senyum kepahitan.

Lalu matanya menatap lurus kedepan, tatapannya kosong. Ada kilat sedih dan kecewa yang jelas tergambar pada kedua bola matanya.

Tapi apa yang sudah terjadi, tidak dapat diulang kembali.

Perempuan yang selalu berada disampingnya itu kini sudah tiada. Sudah pergi meninggalkan Andra, untuk selama-lamanya.

Andra tau penyesalan yang dia alami sekarang itu tidak ada gunanya.

Sosok yang sering meminta Andra untuk menguncirkan rambutnya itu kini telah tiada, tidak ada lagi senderan ketika Andra sedang letih maupun sedih.

Andra merutuki dirinya sendiri, kenapa dia tidak peka dari awal? Kenapa ia terlambat untuk menjaga Eca. Dan lagi, untuk kesekian kalinya Andra menyesal. Andra merasa dirinyalah yang menjadi penyebab meninggalnya Eca.

Memang benar kata orang, penyesalan selalu datang terakhir.

Tapi Andra senang, karena setidaknya Andra pernah memiliki Eca. Karena Andra dan gadisnya itu berani untuk melawan sebuah kata keramat bernama Friendzone. Karena mereka berdua berani mengutarakan untuk saling menyayangi dan mencintai sebagai sepasang kekasih, bukan lagi sahabat. Bahkan mereka berjanji untuk menerima segala konsekuensi yang akan terjadi bila nantinya hubungan mereka kandas, mereka pertaruhkan persahabatan mereka atas nama cinta.

"Wait for me dear, aku percaya akan ada saat dimana kita dipertemukan lagi. Dan pada saat itu kita akan kembali bersama, melanjutkan kisah yang kini terhenti sementara. Percalah Ca, tak ada satupun yang benar-benar mampu menggantikanmu. Karena hingga kini dan bahkan hingga nanti, apa yang ada dihatiku akan tetap sama. Namamu telah terukir abadi didalam sana, kalaupun ada pendampingku nanti. Dia tetaplah dia, isi ruang hatiku yang memang tersisa untuk dia. Tidak akan pernah mengusik ruangku untukmu." Tanpa Andra sadari, air mata telah menetes begitu saja. Sekali lagi Andra mencium nisan pusan putih disana, lalu berdiri dan meninggalkan tempat itu.

Tepat saat Andra melangkah keluar dari komplek pemakaman itu angin lembut menyapu rambut ditengkuknya, entahlah namun Andra merasa ada yang beda. Mendadak Andra merasa Eca ada disana, disampingnya. Andra lantas tersenyum, menatap kembali pusaran kekasihnya itu. Lalu benar-benar pergi dari sana.

//

Layaknya quotes sebuah novel yang pernah gw baca 'True love doesn't happy ending, because true love never have an ending'. Begitupun kisah mereka, kisah Andra dan Eca.

Gadisnya itu memang telah pergi, dan tak akan pernah mungkin kembali. Namun cinta dan kasih diantara mereka tetap ada, mengalir begitu saja.

//

Selesai

Sorry.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang