Kapan Nikah?

18.5K 635 21
                                    

Dua puluh empat. Angka yang muda bukan?

Ya.

Ah, tidak. Tidak bagi keempat sahabat yang mulai menapaki usia dua puluh empat. Beberapa orang berpendapat bahwa angka dua puluh empat adalah angka tua bagi perawan zaman sekarang. Dan keempatnya setuju dengan pendapat yang satu ini. Angka dimana teman-teman seusia mereka sudah menimang anak berumur empat atau lima tahun, sementara mereka masih saja sibuk dengan dunia masing-masing. Dunia yang entah akan membawa mereka kemana, walaupun sepenuhnya sadar bahwa masih ada satu dunia penting yang harus mulai dijalani ; dunia rumah tangga.

"Dua puluh empat, dan kita masih sibuk arisan?" keluh Tania seraya mengusap bibir mungilnya dengan lipstick merah menyala. Ia harus memoles wajahnya satu kali dalam dua jam untuk menjaga kesegaran wajahnya.

Cuaca hari ini sangat panas dan lembab. Angin di luar mengembuskan udara yang tak mampu memberi kesejukan, justru membawa serta segala kepenatan yang berasal dari padatnya jalan ibu kota di luar gedung sana. Pendingin ruangan yang seharusnya berfungsi untuk memberi kesegaranpun seolah berkolaborasi dengan udara lembab di luar sana.

"AC lo mulai kekurangan freon nih kayaknya," keluh Tania untuk kedua kali.

Sekar menghela nafas mengingat kondisi pendingin ruangannya yang memang nyaris sekarat itu. Walaupun begitu ia masih mensyukuri semua yang ia miliki di apartemen kecilnya. Tak mudah bagi seorang pegawai kantoran yang gajinya pas-pasan untuk tinggal di apartemen sebagus ini. Baginya, tak apa gaji pas-pasan asal tempat tinggalnya indah dan terawat. Namun sepertinya memang harus ada pengeluaran tambahan untuk membeli pendingin baru bulan depan.

"Maklum, pendingin ruangan ini udah lama banget gue belinya. Tiga tahun lalu kalau gue nggak salah. Atau di luar cuacanya terlalu panas." Sekar beranjak ke dapur untuk mencari makanan apa yang ia punya di dalam kulkas pinknya.

Asap dingin dari dalam kulkas memberinya sedikit kesejukan, walaupun sejenak. Ia tak akan bisa berlama-lama berdiri di depan kulkas yang terbuka kalau tak ingin mati tersengat aliran listrik.

"Ah, sial. Cuma ada kacang sisa semalam," umpatnya di hadapan kulkas kesayangannya tersebut.

Ia kembali bergabung dengan ketiga sahabat yang telah ia kenal sejak duduk di bangku kuliah.

"Cuma ada ini," katanya nyengir.

"Gue dengar, ribuan pendemo berbaju putih berbondong-bondong memenuhi ibukota hari ini. Itulah sebabnya cuaca hari ini menjadi sangat panas," lanjut Sekar mengomentari peristiwa Ibukota Jakarta hari ini.

"Daripada nggak ada sama sekali," Nayra menyambar mangkuk kacang yang baru saja Sekar letakan di atas meja, dan mulai mengunyahnya dengan rakus. Tampak sekali ia sedang dilanda kelaparan akut. "Ya, panas. Sepanas otak dan hati para pendemo itu," lanjut Nayra.

Ruang keluarga ini adalah ruangan favorit tempat mereka berkumpul. Sebuah layar visual besar tertanam di dinding, siap untuk menanyangkan film-film kesukaan Sekar. Sebuah lampu hias menggantung indah di atas kepala siapa saja yang duduk di sofa empuk berisi gel berwarna transparan yang menggemaskan. Duduk di atasnya seperti sedang menduduki balon berisi air. Posisi paling pinggir adalah favorit Nurmalia. Ia paling suka duduk di bagian pinggir sambil melahap banyak aksara. Buku kesukaanya adalah buku-buku filsafat.

Tania selalu mengeluhkan buku kesukaan sahabatnya yang menurutnya terlalu 'tua' tersebut. Namun Nurmala hanya menyunggingkan senyuman setiap kali Tania mengoceh tentang buku-buku yang dibacanya, sambil berkata, "Kita bahkan berasal dari kata-kata." Entah apa maksudnya.

"Biarlah hanya dia dan Tuhan yang tahu apa maksud perkataannya. Sini berikan padaku remot tevenya," ujar Nayra menengahi.

"Jadi, tadi apa katamu, Tan?" Sekar membuka obrolan setelah berhasil menyetel mesin pendingin ruangannya menjadi lebih dingin.

ARISAN NIKAH (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang