Tuhan menunjukkan cara bagi orang-orang yang mengubur perasaannya,
dan menggalinya kembali pada saat yang tepat.
-Mpit Tivani-Seoul, Desember 2016
"Kamu liatin apa?" ketus Nayra galak pada Adnan yang tertegun memperhatikan gadis- gadis Korea yang berjalan melewati mereka.
"Ngeliatin apa? Nggak ada tuh," bohong Adnan yang duduk bersebelahan dengannya.
Nayra kembali sibuk menikmati kimbabnya dengan lahap.
"Ini nih yang bikin aku betah tinggal di Seoul," ujar Adnan.
"Mwo?"
"Yeoja di sini cantik- cantik," sahut Adnan.
Nayra berhenti makan dan menatap Adnan tajam. "Cih, pria berkacamata bisa juga liat bedain mana cewek bening mana yang butek," desis Nayra.
"Kalo kamu..., cewek apa?" todong Adnan.
"Yeppeun Saram," jawab Nayra cuek. Adnan tertawa.
Musim dingin mulai memasuki bulannya. Cuaca di seoul jadi semakin dingin, membuat Nayra makan lebih banyak dari biasanya karena perutnya selalu menjadi lebih lapar bahkan setelah ia menghabiskan banyak makanan.
"Lebih enak masakan Indonesia," komentar Nayra disela- sela aksi mengunyahnya.
"Ye. Dua minggu lagi kita pulang ke Indonesia," ujar Adnan.
"Jinjjayo? Jinjjayo? Aaaaaa horeee!" seru Nayra refleks memeluk Adnan saking senangnya. Ia sudah amat merindukan Indonesia.
Beberapa detik kemudian ia sadar apa yang dilakukannya, "Ehemm, miyanhe," ujarnya meminta maaf dengan wajah yang memerah padam.
"Uhuk.. habiskan makananmu," ujar Adnan canggung sambil terbatuk -batuk. Nayra merasa semakin malu dibuatnya.
Ia tak mengeluarkan sepatah katapun di sepanjang perjalanan pulang. Masih terbayang rasa malunya ketika ia tak sengaja memeluk Adnan tadi.
"Aku duluan ya?" ujar Nayra setibanya di rumah. Ia berlari kecil menuju kamarnya.
Nayra mengunci pintu kamarnya rapat- rapat dan mengutuk kecerobohan dirinya di depan cermin sambil berganti baju tidur. "Aishh, babo. Ngapain juga tadi gue pake acara meluk-meluk segala? Adnan bisa salah paham nanti.. aaa eoteoke.. eoteoke," rengeknya pada diri sendiri.
"Tidur aja, semoga besok ia lupa, ah jinjja," gumamnya. Alih-alih tertidur, wajah Adnan malah bermain-main dalam benaknya.
"Ishh," desisnya.
Ia mencoba lagi memejamkan mata sekuatnya, tapi senyuman Adnan malah makin berseliweran di matanya. "Apa-apaan sih ini? kenapa dia lagi, dia lagi? Aishh, michyeotta," gerutunya.
Baru saja ia akan mengubah posisi tidurnya, tiba- tiba lampu seisi rumah padam untuk pertama kalinya sejak kepindahan mereka ke Seoul.
"Aaaaaaaaaaa," jerit Nayra histeris. Ia takut gelap.
Adnan tergopoh- gopoh menghampirinya.
"Wae?" tanya Adnan. Ia mendapati Nayra meringkuk di bawah selimut dalam kegelapan.
Nayra yang menyadari kehadiran Adnan langsung membuka selimut dan mencengram tangan Adnan dengan kuat. "Takut," rengeknya.
Adnan buru-buru meraih handphone dari kantong dan menyalakan lampu flash-nya.
"Yuk," ajak Adnan.
"Kemana?"
"Ke luar nyari lilin. Apa..., mau gelap-gelapan di sini aja?" goda Adnan jail.
Cepat-cepat Nayra melompat dari tempat tidurnya dan mengikuti Adnan ke ruang tamu. Setelah lilin menyala, Nayra mendapati dirinya masih mencengkeram tangan Adnan dengan kuat. Sekali lagi dengan cepat ia melepaskannya.
"Miyanhe," ujarnya lagi. Beruntung kali ini Adnan tak dapat melihat wajahnya yang merah padam karena gelap.
"Emm, kamu nggak bayar listrik ya?" semprot Nayra setelah ia berhasil menguasai diri.
"Ahaha, mana mungkin," tawa Adnan pecah. Mana mungkin ia lupa membayar listrik. Ia adalah tipe pria yang paling apik mengurusi administrasi- administrasi semacam itu.
"Kukira di Indonesia doang yang rajin blackout," sungut Nayra.
Keduanya duduk menghadapi lilin kecil yang bersinar seadanya. Dari kecil Adnan suka bermain lilin di kampungnya. Ia senang menikmati cahaya temaram sebuah kecil. Baginya lilin adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya, karena ia melelehkan dirinya sendiri hanya untuk menerangi orang-orang di sekitarnya.
"Lihat lilin kecil ini, dia hebat," Adnan memulai topik pembicaraan agar tak bosan, karena tak ada hal yang dapat mereka lakukan selain menunggu lampunya menyala.
"Apanya yang hebat?" tanya Nayra penasaran.
"Ia memberi setitik cahaya dalam kegelapan, menandakan bahwa di dunia ini tak ada satupun yang akan benar-benar tinggal dalam kegelapan. Pasti akan ada sebuah cahaya yang akan memberinya penerangan," jelas Adnan.
"Mengapa seyakin itu? Bagaimana kalau tak ada lilin? Bayangkan jika kamu posisinya sedang berada di sebuah desa terpencil yang nggak punya bahan bakar. Apa yang akan kamu lakukan ketika malam dingin menghampiri kamu? Nggak akan ada sumber cahaya," debat Nayra.
"Masih ada bintang, atau cahaya bulan," jawab Adnan diplomatis.
"Bagaimana kalau hujan?"
"Esok malam di saat hari tak hujan, pasti ada bulan dan bintang."
"Kalau malam besoknya masih nggak ada? Gimana?"
"Aku akan menunggu," jawab Adnan singkat.
"Nunggu apa?"
"Menunggu sampai kamu mencintaiku," ucap Adnan cepat.
Nayra menutup mulutnya rapat- rapat. Ia tak tahu tanggapan seperti apa yang akan ia berikan pada Adnan saat ini. Ia tak menyangka kebaikan Adnan padanya selama ini bukan hanya karena sepakat untuk jadi sepasang sahabat, tapi karena Adnan memang mencintainya dengan tulus.
"Nay?" panggil Adnan pelan.
"Ya?"
"Apa kamu mendengarkanku?"
"Ya."
"Michyeosseo?" ketus Nayra.
"Michyeotta," sahut Adnan. Lalu keduanya tertawa bersama.
______________________
Dictionary
Yeoja : cewek
Yeppeun Saram :Orang cantik
Junjja? : Really?
Mianhe : maaf
Babo : bodoh
Eoteokke : Bagaimana ini?Michyeosseo? : Kamu gila?
Waeyo? : Kenapa
Michyeotta : Aku hampir gila
KAMU SEDANG MEMBACA
ARISAN NIKAH (Completed)
RomanceApa yang kau pikirkan saat mendengar kata 'Arisan'? Menang? Kalah? Giliranmu? Lalu apa yang akan kau lakukan jika namamu yang tertera dalam potongan-potongan kertas sebuah Arisan Nikah? Nurmala, Tania, Sekar, dan Nayra did it. Baca romansa keempat...