2

62.6K 4.6K 67
                                    

Begitu sampai di rumah, aku langsung berjalan menuju kamar tidur kami. Ke kamar mandi dan mengunci diri.

Aku tidak pernah membiarkan Aro melihatku serapuh ini. Selembek ini. Aku tidak pernah menangis di hadapannya. Sekalipun.

"Wi?" Aro mengetuk pintu kamar mandi kami. Aku masih dalam tangisku. "Wi, kenapa sih?" Aro kali ini menggedor.

Aku menghela nafas dan langsung membasuh wajahku. Kemudian membukanya, dan kembali ke depan washtafel. "Aku lagi sikat gigi barusan." Jawabku.

"Kenapa?" Tanya Aro sambil bersender di pinggir pintu. Melipat dadanya. Aku melihat wajahnya dari cermin. Masih sama, tampan dan menggoda. "Kamu kenapa?"

"Banyak pikiran." Jawabku sambil mengelap wajahku dengan handuk.

Aku berjalan keluar kamar mandi, dia dengan gerakan cepat menarik tanganku. "Banyak pikiran apa?"

"Makan malam apa kita hari ini? Mau aku masakin atau kamu yang masak?" Aku mengalihkan pembicaraan.

"Buat fuyung hai aja. Kita masak bareng-bareng." Ajaknya. Kemudian melepasku, membiarkan aku berjalan duluan ke arah dapur.

Aku menyiapkan segala bahan makan malam kami sementara Aro mengambil alat-alatnya. Kami masak dalam diam. Sepertinya dia juga tidak ingin banyak bicara kali ini karena biasanya Aro akan cerewet padaku ketika melihatku masak.

"Coba cicip saosnya." Aku menyodorkan sendok ke arah bibirnya. Dia meniup sebentar dan mencicipnya.

Dia mengangguk. "Enak." Kemudian berlanjut dan kembali hening.

Setelah selesai, kami makan dalam diam di depan televisi. Bukannya makan di meja makan. Sudah kebiasaan kami. Makan di meja makan adalah untuk makan resmi atau ketika orang tua Aro datang berkunjung untuk sekedar bersantap keluarga. Selebihnya, kalau hanya kami berdua, pasti akan makan di sofa ruang tengah sembari menonton tv.

"Kenyang." Dia bergumam dan meletakkan piringnya di meja kopi. Kemudian kembali menonton tv. Sementara aku, masih mengunyah makananku. "Tadi interview apa?" Tanya Aro.

"DOSM. Kan udah aku bilang."

"Eh, dimana maksud aku."

"Di Moza. Aku di tawarin disana. Ya udah aku coba."

"Whindama juga nawarin kamu itu tapi kamu tolak. Kenapa di Moza mau?" Aro mengambil piringku yang sudah kosong, menaruhnya di atas piring kosongnya. Kemudian menarikku ke pelukannya.

"Perlu suasana baru." Jawabku singkat.

"Suasana baru atau cowok baru." Aku menoleh, tidak berkata apa-apa. Biasanya aku akan menanggapinya dengan candaan. Tapi tidak kali ini. "Wi, aku cuma bercanda. Kamu kenapa sih?"

"Kamu pernah mikir nggak kalau kamu itu rugi pacaran sama aku?" Tanyaku tiba-tiba.

"Kenapa aku harus rugi?"

"Jawab."

"Enggak, Wi. Aku nggak pernah ngerasa rugi pacaran sama kamu." Jawab Aro.

"Kenapa nggak pernah terlintas untuk kita nikah?" Tanyaku lagi.

Aro menghela nafasnya, kemudian memegang pundakku. "Kita pernah bahas itu secara nggak langsung. Ingat jawaban kamu?"

"Kapan?" Aku mengerutkan dahiku.

"Jadi kalau lo terikat lo nggak bisa pecicilan lagi dong?" Tanya Sintha di sela-sela makan malam kami.

Ale dan Sintha sedang makan malam dirumah kami. Iseng-iseng ketika Aro mengajak mereka, sekaligus uji coba resep baru yang mereka buat. Aku mengiyakan, lagi pula sejak Sintha berhenti bekerja kami jadi jarang bergosip.

End Of The RoadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang