Kami seperti hidup di Atlantik. Dingin, kaku, tidak ada sapaan selamat pagi, tidak ada kecupan sebelum tidur. Selama hampir 2 tahun kami memilih pisah ranjang. Aro di kamar yang berbeda dan aku di kamar bersana Jelita.
Pembicaraan kami hanya sebatas tentang Jelita. Selebihnya? Tidak ada. Sama sekali. Siapa yang jemput Jelita di rumah Ibu, siapa yang antar Jelita kerumah Ibu. Hanya itu.
Aku memilih kerja kembali, menjadi bawahan tidak masalah yang penting aku berkegiatan. Setiap aku bekerja, aku menitipkan Jelita di rumah ibu mertuaku.
Aro akhirnya memilih tidak keberatan dengan keputusan yang aku ambil. Keputusan yang tentu saja aku buat secara sepihak. Aku tidak lagi meminta izinnya untuk melakukan kegiatan sehari-hariku. Dia juga tidak lagi memperdebatkan masalah ini. Mungkin kami berdua sudah terlalu lelah.
Aku istri durhaka? Tentu. Kemudian aku berpikir kembali, untuk apa aku di rumah bersedih sementara Aro bisa keluar rumah dan bersenang-senang?
Bersenang-senang dalam artian bekerja. Bukan yang lain.
Aku memang egois.
Jelita tetap prioritas utama kami berdua. Titik. Kami masih cekatan mengurus Jelita, merawatnya, mengajarinya bicara dan berjalan. Bahkan kata pertama yang keluar dari bibirnya adalah Papa.
2 tahun kami seperti ini. Bahkan ketika Jelita ulang tahun pertama, kami berusaha menutupi keadaan rumah tangga kami pada siapapun, termasuk keluarga kami. Termasuk sahabat kami. Lama kelamaan, kami terbiasa seperti ini.
Seperti dulu, kami terbiasa dengan hubungan, yang kata orang menggangung. Saat ini, aku juga merasa kalau kami mulai terbiasa dengan hubungan, yang mungkin orang lain bisa katakan, palsu.
But, what can we do?
**
"Live is not about rainbows and unicorns all the time, Wi." Kata Sintha ketika aku duduk di halaman belakang rumahnya, mengeluh lelah dan tak sanggup lagi untuk bertahan. She knows me way too well.
Dia mengajakku makan siang di luar, tapi aku memilih untuk kerumahnya. Aku memilih menutup diri akhir-akhir ini. Hingga Sintha menyadari apa yang salah denganku.
"I'm fine. I'm just.. tired." Ucapku.
Sintha mengelus pundakku. "Lelah itu wajar, Wi. All you have to do is survive."
Aku menoleh, menatap sahabatku. "Gimana kalau gue akhirnya memilih menyerah? Apa itu salah?"
Sintha tersenyum dan menarik tubuhku. Dia memelukku. Aku merasakan air mata menetes tanpa izin di pipiku.
Aku menyerah. Aku terlalu lelah.
**
Kami beragumen kembali. Kali ini dengan lemparan. Aku yang memulai.
Aku melempar foto di atas meja kerja Aro di kamarnya. Foto kami berdua, tertawa lepas di Pantai Pulau Merah Banyuwangi, ketika kami berlibur bersama sebelum memutuskan untuk menikah.
"Terus kamu lebih milih berangkat dan ninggalin anak kamu di sini?!" Seruku.
"Apa bedanya sama kamu? Kamu juga tetap pergi ke mana itu, aku nggak peduli, dan ninggalin anak kamu disini?! Harus berapa kali dalam seminggu kamu pergi? Harus berapa kali dalam sebulan kamu ninggalin Jelita?" Balasnya.
"Kamu luar biasa egois! Kamu tau aku kerja! Sedangkan kamu? Kamu berlibur di Melbourne! Bersenang-senang sama restoran baru kamu! Kamu kemana waktu Jelita bisa bilang Papa? Kamu kemana waktu Jelita bisa jalan selangkah dua langkah? Were you there? No! You are not!"
"I was there, Wi!"
Ceklek...
Kami berdua menoleh ketika pintu kamar Aro terbuka dan kami melihat Jelita, menggendong boneka stitch biru miliknya, sambil mengucek pelan mata bulat miliknya. "Tita ngantuk, Tita penen bobo. Yuk." Ajaknya kepada kami berdua.
