Aku bangun dalam keadaan berantakan. Bukan cuma aku, tapi ranjang kami juga. Aku meraba sisi kananku, kosong. Aku langsung bangun dan melihat sekeliling.
Bantal berserakan di bawah, baju-baju kami juga berserakan di bawah. Bahkan Ciro, anjing mini pomku yang sudah punya kasur sendiri dengan asiknya tidur di atas bantal yang berserakan di lantai. Aku harus merapikan ini semua sebelum asisten rumah tanggaku datang dan melihat kamar kami berantakan.
Aku mengambil kaos singlet hitamnya. Itu baju favoritnya untuk di gunakan setiap dia tidur malam. Dia bahkan punya satu rak khusus untuk singlet hitam itu.
"Aro?" Aku berjalan keluar kamar dan mendapati dia sudah duduk sambil membaca koran di meja makan. Tanpa baju, hanya celana piyamanya. "Kenapa nggak pakai baju? Di lihat Mbok Iluh baru tau rasa lho." Kataku.
Dia menurunkan korannya dan menolehku. "Kamu yang pakai sih." Dia kembali membaca koran.
Aku menoleh ke arah tubuhku sendiri. "Alesan." Aku berjalan menuju meja makan, mengambil roti dan mengolesnya dengan nutella. Kemudian berjalan ke balik kitchen counter untuk membuat segelas teh untukku. "Kamu udah buat kopi?"
Aro menggeleng. Dia tidak akan pernah mau sarapan kalau bukan aku yang menyiapkan. Bahkan membuat kopipun dia enggan kalau bukan aku yang membuat. Padahal tinggal di buat di mesin kopi.
Begitu aku membuatkan kopi untuknya, langsung aku tuang ke cangkirnya. Aku membawa dua cangkir. Satu cangkir teh untukku, dan cangkir kopi untuknya.
Dia akan membiarkannya sampai hangat dulu, baru dia minum. "Nanti jadi interview lagi?" Tanya Aro. Aku sudah membahas ini kemarin dengannya setelah kami berasenang-senang.
"Jadi. Sama Pak Dimas gitu namanya, director HR-nya. Harusnya sih kemarin, tapi dia meeting." Jawabku. Aro hanya mengangguk, kemudian mencomot rotiku. Aku hendak protes, dia sudah mengecup pipiku.
"Aku mandi duluan." Ujarnya. Aku mengangguk.
Dia sudah hilang di balik pintu kamar. Sementara aku masih menyelesaikan sarapan ringanku. Aku langsung menutup cangkir kopi Aro dan membiarkannya di atas meja bar.
Aku masuk ke dalam kamarku. Melihat Ciro masih tidur, aku memilih menyiapkan baju untuk Aro dan baju untukku.
Pintu kamar mandi dibuka. Aro sudah keluar dengan balutan handuk di pinggangnya. "Itu baju kamu. Aku mandi dulu. Jangan lupa keluarin Ciro biar dia pup di taman belakang."
"Iya, neng." Celetuk Aro. Aku berdecak sementara dia tertawa.
Begitu selesai mandi, aku langsung bersiap. Mengambil tasku dan sandal jepitku. Aro duduk di kursi bar menyesap kopinya dengan Ciro di bawahnya masih sibuk dengan makanan yang baru saja Aro berikan.
"Mbok Iluh udah datang?" Tanyaku menanyakan ART kami.
"Bentar lagi deh kayanya. Baru jam segini." Aro menoleh ke arah jam tangannya. Aku mengangguk. "Cincinnya nggak di pakai?" Tanya Aro. Aku langsung melihat jemariku dan ternyata masih kosong.
Aku berlari ke kamar tidur dan langsung menggunakannya. Kemudian keluar lagi dan siap untuk berangkat.
"Kalau cincin kamu di lihat orang-orang, kamu bilang apa?" Tanya Aro.
Aku mengusap daguku, berpura-pura berpikir. "Hadiah." Jawabku.
"Gitu aja?"
"Ada lanjutannya." Aku menggendong Ciro dan menaruhnya di atas kasurnya sendiri. "Hadiah dari pacar aku, eh tunangan aku." Jawabku.
Dia tersenyum, menarikku untuk dia cium. Aku tersenyum di tengah-tengah ciuman kami.
Jadi, begini rasanya ketika hubunganmu naik tingkat.
